Kesaksian Perempuan Ma’anyan Janah Jari Kalteng

sumber foto:http://inkuiriadat.org/

AMAN, 3 Oktober 2014. Inkuiri Adat hari ke-3 region Kalimantan memperdengarkan kesaksian permpuan Ma’anyan Janah Jari Kalimantan Tengah(Kalteng).

Perempuan itu bernama Mardiana Didana. Ia bekerja sebagai perawat sejak 1979. “Jika terbakar atau layu lahan yang berdampingan dengan kami, maka kami akan mendapat denda,” ujarnya seperti ditulis Siti Maemunah, Badan Pengurus Jatam dan Peneliti Sajogyo Institute, di media sosial hari ini (3/10), “Jika lahan rusak kami harus mengganti, juga jika kami merusak air, baik air untuk minum, atau air mandi tempat anak-anak berenang, maka kami tak boleh turun ke hulu, karena akan mendapat denda.”

Di sana, jelas Mardiana, kami dididik untuk mendapatkan sumber kehidupan kami. “Sayur-sayuran, ikan, hewan, tumbuh-tumbuhan yang mengandung gula, karena jaman dulu kami tak mengenal gula. kami hanya mengambil dari hasil madu, lalangut dan tewo,” jelasnya, “Di sana juga ada penyubur rambut, sejenis shampoo, untuk sabun juga ada, untuk obat-obatan, kami punya. Ada obat kanker, pengatuir kelahiran atau tahelai, obat pengusir lalat, penyedap rasa kami juga punya, ada dua jenis ada di hutan kami”.

Kami, lanjut Mardiana, pergi ke kebun tak bawa bekal karena tersedia di alam. “Namun, sekarang (sejak ada perusahaan) kami harus bawa itu di punggung, “ keluh Mardiana, “Kami tak bisa mendidik anak kami mengenal sungai, dan membedakan sungai, danau dan rawa , sungai ada hungai dan kamatak, sungai-sungai kecil dan sungai besar.”

Sekarang, tambah Mardiana, anak kami sulit mengenal sungai. “Kami dulu melakukan ritual untuk menghormati penjaganya, kami yakin smua yang diciptakan ada rohnya, sehingga kami minta ijin jika akan melakukan sesuatu,” tambahnya.

Hingga suatu hari, kata Mardiana, kami dikejutkan peristiwa pembunuhan yang dilakukan Perusahaan. “PT Haspram yang paling lengket diotak saya,” katanya, “Pertama, pada seorang perempuan, ia sakit, badannya kurus, karena dua minggu sebelumnya saya mengobati dia. Saya dan seorang dokter datang ke sana, dia sudah bersimbah darah, saya memegang kepalanya, posisi kepalanya berubah, hanya sisa 2 jari daging yang menempel di lehernya, saya hanya berteriak. Saya berteriak mana laki-laki, ternyata laki-laki sedang di ladang.Kesaksian Mardiana tentang seorang keluarga yang menolak menyerahkan tanahnya pada perusahaan.

“Tapi yang paling menyedihkannya adalah anak perempuan korban yang menyaksikan pembunuhan ibunya dan pembakaran rumah mereka setelah keduanya melarikan diri ke hutan,” jelasnya, “Anak perempuannya yang sudah dewasa bersikap seperti laki-laki, tak mau jadi perempuan. Dia, lanjut Mardiana, merasa sebagai seorang perempuan, dia merasa tak bisa melindungi ibunya yang dibunuh saat sedang sakit. “Jadi ia tak mau dipanggil perempuan,” tuturnya.

Tinggalkan Balasan