Jalan Panjang dan Berliku RUU PPHMA

Jalan Panjang dan Berliku RUU PPHMA

Rumah AMAN, 3 September 2014. Ada secercah cahaya di tengah kegelapan perjalanan pembahasan Rancangan Undang Undang (RUU) Pengakuan dan Perlindungan Hukum Masyarakat  Adat (PPHMA). Secercah harapan itu muncul dari Istana Wakil Presiden Boediono pada 1 September lalu.

Pada Senin (1/9) lalu di istana Wakil Presiden, ditandatangani Deklarasi Pengukuhan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat lewat REDD+. Deklarasi ini intinya merupakan dukungan untuk memastikan implementasi dari Hak-Hak Masyarakat Adat yang tercantum dalam UUD 45, TAP MPR RI No. 9 tahun 2001, serta Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012 mengenai Hutan Adat.

Secara umum, deklarasi ini berisikan 8 butir kesepakatan, antara lain, penguatan kapasitas Masyarakat Adat untuk terlibat aktif dalam berbagai program pemerintah; singkronisasi dan harmonisasi berbagai perundang-undangan yang berkaitan dengan hak-hak Masyarakat Adat; mendorong terwujudnya RUU PPHMA; pendataan Komunitas Masyarakat Adat dan wilayah adatnya serta penetapan melalui Peraturan Daerah; penyelesaian konflik terkait hak Masyarakat Adat; kapasitas kelembagaan dan pelaksanaan REDD+ sebagai salah satu upaya mengembangkan partisipasi Masyarakat Adat.

Deklarasi ini didukung dan ditandatangani oleh Menteri Koordinator Kesejahteraan Sosial, Menteri Lingkungan Hidup, Menteri Kehutanan, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Dalam Negeri, Badan Pengelola REDD+, Badan Pertanahan Nasional, Badan Informasi Geospasial dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Penandatangan deklarasi disaksikan oleh Bapak Boediono, Wakil Presiden RI, Bapak Kuntoro Mangkusubroto, Kepala UKP4, Bapak Abdon Nababan, Sekjend AMAN dan beberapa utusan komunitas Masyarakat Adat yang hadir menyaksikan penandatanganan deklarasi ini.

Selengkapnya naskah Deklarasi Pengukuhan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat lewat REDD+ dapat diunduh atau download di Deklarasi 1 September 2014

“Deklarasi itu dapat mendorong penyelesaian RUU PPHMA,” ujar Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Abdon Nababan, “Karena dalam salah satu butir deklarasi itu secara jelas disebutkan adanya kesepakatan untuk mendorong terwujudnya peraturan perundang‐undangan yang menjadi landasan hukum bagi pengakuan dan perlindungan Masyarakat Adat (MA), termasuk RUU PPHMA.”

Namun, lanjut Abdon, masih ada persoalan serius dalam draft RUU PPHMA. “Jika persoalan ini tidak diselesaikan, bisa jadi RUU PPHMA jika disahkan menjadi UU justru menjadi semacam kutukan bagi Masyarakat Adat,” jelasnya, “Setidaknya ada tiga persoalan serius dalam draft RUU PPHMA itu,”

Pertama, lanjut Abdon, di dalam draft RUU PPHMA itu tidak mengamanatkan terbentuknya Komisi Nasional Masyarakat Adat, tapi hanya mengamanatkan panitia adhoc. “Mana mungkin, persoalan Masyarakat Adat yang sudah terjadi dan berlarut-larut selama 69 tahun akan diselesaikan oleh lembaga adhoc,” tegasnya, “Padahal sejak awal kita (AMAN) mengusulkan terbentuknya Komisi Nasional Masyarakat Adat untuk menyelesaikan persoalan Masyarakat Adat. Pembentukan komisi sudah tepat sesuai dengan besar dan cakupan tugasnya.”

Kedua, tambah Abdon, persyaratan di dalam draft RUU PPHMA yang ada sekarang justru mempersulit persyaratan pengakuan Masyarakat Adat. “Ini jelas bertentangan dengan cita-cita dari RUU PPHMA sendiri,” tegas Abdon.

Ketiga, Draft RUU PPHMA yang ada sekarang justru membuka peluang munculnya Peradilan Adat di luar komunitas adat itu sendiri. “Ini bisa membuka peluang munculnya lembaga adat bikinan, bentukan pemerintah di pusat maupun di daerah,” jelas Abdon, “Padahal Masyarakat Adat itu dari sananya sudah punya Lembaga Adat.”

Meskipun Deklarasi Pengukuhan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat lewat REDD+ bisa menjadi pendorong bagi percepatan pembahasan RUU PPHMA, nampaknya pembahasan RUU itu masih harus menempuh jalan panjang dan membutuhkan dukungan dari semua pihak di DPR RI maupun Pemerintah.

Tinggalkan Balasan