Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia
9 Agustus 2014
Tema: Menjembatani Kesenjangan: Melaksanakan Hak-hak Masyarakat Adat
Sub Tema: “Menjadikan Masyarakat Adat bagian dari Bangsa Indonesia”
Salam Nusantara,
Kembali dunia memperingati Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia (HIMAS) yang jatuh pada hari ini 9 Agustus 2014 dan merupakan tahun ke-20 sejak pertama kali diperingati pada tahun 1995, tahun yang sama ketika dimulainya Dekade Internasional untuk Masyarakat Adat. Dua dekade telah berlalu dan thema HIMAS tahun ini adalah Menjembatani Kesenjangan: Melaksanakan Hak-hak Masyarakat Adat.Tema ini merupakan simbol dari komitmen negara-negara anggota PBB untuk mengakui dan memenuhi hak-hak Masyarakat Adat.
Kita bisa mencatat bahwa dalam dua dekade terakhir setidaknya telah ada beberapa langkah-langkah Pemerintah Indonesia terkait pengakuan hak-hak Masyarakat Adat.
Perlu kita catat bahwa Presiden Abdulrahman Wahid alias Gus Dur dan Presiden SBY dan yang secara terbuka di tengah publik memperbincangkan persoalan Masyarakat Adat.Gus Dur melakukannya pada saat Konferensi Nasional Pengelolaan Sumberdaya Alam pada bulan Mei 2000 di Hotel Indonesia Jakarta. Sementara SBY melakukannya pada peringatan Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia 9 Agustus 2006 yang diselenggarakan oleh Komnas HAM RI di Taman Mini Indonesia Indah. Presiden SBY mengakui keberadaan Masyarakat Adat di Indonesia,yang masih menjadi korban proyek‐proyek pembangunan. SBY juga menyatakan komitmennya untuk memajukan hak‐hak Masyarakat Adat di Indonesia. SBY menyatakan tentang perlunya UU untuk mengakui dan melindungi hak-hak Masyarakat Adat.
Di bawah kepemimpinan SBY, Pemerintah Indonesia telah turut serta secara aktif membangun standar internasionaldalam isu HAM maupun dalam isu pembangunan berkelanjutan. Antara lain melingkupi isu Masyarakat Adat, serta yang terpenting adalah ratifikasi Konvensi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (UN CERD) dan Konvensi PBB tentang Keanekaragaman Hayati (UN CBD). Dukungan Pemerintah Indonesia dalam pengesahan Deklarasi PBB tentang Hak‐Hak Masyarakat Adat (UN DRIP) tak kalah pentingnya. Kemajuan tersebut terjadi pada masa Pemerintahan SBY-Jusuf Kalla’tahun 2004-2009.
Komitmen Pemerintah Indonesia melanjutkan reformasi hukum nasional dalam memulihkan hak‐hak konstitusional Masyarakat Adat telah dituangkan dalam Program Legislasi Nasional (PROLEGNAS) 2010‐2014 yang di dalamnya mengagendakan RUU tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak‐hak Masyarakat Adat dan RUU revisi UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Pada periode SBY – Boediono selama 4,5 tahun ini, SBY mengalami kemunduran yang luar biasa dalam urusan Masyarakat Adat ini.
Presiden SBY kembali berjanji di hadapan publik nasional dalam sesi Internasional Tropical Forest Alliance (TFA) 2020 di Hotel Shangri-la, (Juni 2013) untuk melaksanakan Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 tentang “Hutan Adat bukan Hutan Negara” dengan memimpin sendiri pendaftaran dan pengakuan terhadap wilayah-wilayah adat. Belum ada tanda-tanda bahwa janji ini akan dikabulkan, akan tetapi pengesahan RUU Masyarakat Adat dan keluarnya INPRES Percepatan Pengakuan Keberadaan Masyarakat Adat dan Wilayah Adatnya ini masih mungkin terjadi.
Namun demikian, pembahasan RUU Masyarakat Adat di DPR RI mengalami perlambatan dan terancam macet karena SBY tidak jitu menunjuk perwakilan Pemerintah dalam pembahasan RUU ini bersama DPR RI, khususnya dalam penunjukan Menteri Kehutanan sebagai koordinatornya.
Salah satu sumber penjajahan dan penderitaan berkepanjangan bagi Masyarakat Adat sumbernya adalah UU Pokok Kehutanan No. 5 Tahun 1967 yang dilanjutkan dengan UU Kehutanan No. 41 Tahun 1999 telah merampas 80% tanah-tanah di wilayahadat menjadi hutan negara. Masyarakat Adat bersama DPR RI berhadapan langsung dengan Kementerian Kehutanan dalam pembuatan UU yang mengatur pengakuan dan perlindungan hak-hak konstitusional Masyarakat Adat merupakan “blunder” yang sulit diterima akal sehat dan sungguhmengecewakan. Putusan MK No 35 yang mengakui hak-hak konstitusional Masyarakat Adat atas tanah, wilayah dan sumberdaya alam sama sekali tidak diindahkan dalam penyusunan dan pembahasan RUU Masyarakat Adat.
Tahun ini merupakan catatan tersendiri bagi Masyarakat Adat, dimana pada Pilpres kali ini AMAN secara resmi mendukung Joko Widodo dan Jusuf Kalla sebagai Presiden dan Wakil Presiden periode 2014-2019. Adalah perjalanan panjang Masyarakat Adat untuk sampai pada pilihan politik penting tersebut, mulai dari penerimaan aspirasi, usulan bakal calon dari pengurus wilayah dan daerah, pemeriksaan di basis-basis organisasi sampai pada penilaian visi, misi dan program kerja seluruh bakal calon presiden, berkenalan dan berdialog dialog dengan salah satu bakal calon presiden, lalu bermusyawarah-mufakat untuk merumuskan keputusan akhir.
AMAN secara seksama mempertimbangkan rekam jejak masa lalu, kinerja masa kini dan visi masa untuk Masyarakat Adat Indonesia yang Berdaulat, Mandiri dan Bermartabat. Masa lalu yang lebih bersih, kinerja yang lebih baik. Visi masa depan calon presiden yang sejalan dengan visi dan misi perjuangan AMAN selama ini, kita temukan dalam sosok Joko Widodo.
Pilihan Masyarakat Adat terhadap Jokowi-JK, tentu tidak terlepas dari pengalaman langsung dalam memperjuangkan pengakuan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak Masyarakat Adat dan pengamatan kita secara lebih luas terhadap proses dan hasil penyelenggaraan Negara selama periode pemerintahan Jend. (Pur) DR. H. Susilo Bambang Yudoyono dan Prof. DR. Boediono (SBY-Boediono) tahun 2009-2014 yang akan lagi berakhir.
Kalau produk hukum yang penting bagi Masyarakat Adat tidak juga keluar pada masa akhir pemerintahan SBY-Boediono maka agenda ini harus menjadi prioritas pasangan Jokowi-JK. Mudah-mudahan pasangan Jokowi-JK tidak mengingkari janjinya setelah menjadi Presiden dan Wakil Presiden.
Presiden dan Wakil Presiden terpilih harus melanjutkan Kebijakan Satu Peta (One Map Policy), moratorium izin baru di kawasan hutan, Nota Kesepakatan Bersama (NKB) 12 Kementerian dan Lembaga Negara yang diprakarsai dan dimotori oleh KPK – UKP4.
Pengembangan ekonomi kreatif berbasis keragaman budaya, ekonomi hijau dan REDD+ ala/berbasis Masyarakat Adat.
Ada juga program pemerintah yang harus dikaji ulang, direvisi atau bahkan harus dihentikan antara lain: MasterPlan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), sebagai perluasan pembangunan ekonomi nasional bertumpu pada hutang luar negeri dan modal asing, di mana penetapan Master Plan dalam memilih wilayah tertentu dengan kekayaan sumberdayanya itu dilakukan secara sepihak. Masyarakat (Adat) tidak pernah diminta pendapat dan persetujuan sebagaimana terkandung dalam prinsip FPIC (Free, Prior, Informed Concent).
Thema HIMAS tahun ini tidak terlepas dari penyelenggaraan Konferensi Dunia tentang Masyarakat Adat (WCIP – World Conference on Indigenous Peoples) yang akan dilaksanakan oleh Sidang Umum Perserikatan Bangsa-bangsa/PBB di Markas Besar PBB pada tanggal 22-23 September 2014. WCIP ini bertujuan untuk melihat kembali situasi dan pemenuhan hak-hak Masyarakat Adat di seluruh dunia serta mendengar berbagai praktek-praktek baik oleh negara-negara anggota PBB terkait Masyarakat Adat. Pada hari yang sama delapan tahun lalu Presiden SBY berjanji kepada Masyarakat Adat dan WCIP ini adalah kesempatan yang tepat bagi SBY untuk menyampaikan beberapa kemajuan yang sudah terjadi di Indonesia di hadapan Sidang Umum PBB.
Ada sedikit kemajuan pada reformasi hukum sehubungan dengan pengakuan dan pelindungan atas hak‐hak Masyarakat Adat, walaupun masih bersifat parsial dan sektoral, sehingga belum cukup untuk menjamin pertumbuhanserta berkembangnya partisipasi Masyarakat Adat yang efektif sebagai upaya membangunan kebangsaan, perdamaian dan pembangunan ekonomi nasional.
Saat ini, ancaman terhadap Masyarakat Adat masih akan besar dan tantangan gerakan Masyarakat Adat di nusantara juga akan tetap banyak. Ini merupakan tantangan sekaligus kesempatan bagi Joko Widodo dan Jusuf Kalla untuk memulihkan martabat Masyarakat Adat dengan melaksanakan 6 point janji mereka kepada Masyarakat Adat yang tertuang dalam Visi Misi Capres/Cawapres Jokowi-JK.
Mari terus merapatkan barisan, berjuang bersama dengan ketekunan, memastikan pengakuan dan pelaksanaan hak-hak Masyarakat Adat.
Jakarta, 9 Agustus 2014
Abdon Nababan,
Sekretaris Jendral Aliansi Masyarakat Adat Nusantara(AMAN)