- “Konsultasi Nasional RUU PPHMA” Aliansi Masyarakat Adat Nusantara
Jakarta 22 Mei 2014 – Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menyelenggarakan konsultasi nasional
dalam rangka mengupas dan mendiskusikan Draft Rancangan Undang-Undang Pengakuan – Perlindungan Hak Masyarakat Adat (RUU PPHMA) berlangsung di Hotel Grand Tropic Jalan Letjen S Parman, Jakarta Barat.
Nara sumber dalam konsultasi ini adalah Ketua Pansus RUU Pengakuan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat (RUU PPHMHA) DPR RI, Himatul Aliyah Setyawati, Sandra Moniaga (Komisioner Komnas HAM) Dr. Myrna Safitri (Epistema Institut) dengan moderator Erasmus Cahyadi Dir Advokasi PB AMAN.
Deputi III PB AMAN, Arifin Saleh mewakili Sekjen AMAN dalam sambutannya menyampaikan; jika nanti undang-undang ini disahkan,
benar-benar dapat menjadi harapan bagi seluruh masyarakat adat Indonesia, untuk memulihkan hak-hak masyarakat adat sekaligus memberi perlindungan hukum. Mengingat periode kerja anggota DPR akan berakhir tahun 2014, inilah momentum baik bagi anggota DPR untuk bisa membuat sejarah, sehubungan dengan pemulihan hak-hak masyarakat adat dan DPR segera mengesahkan RUU ini menjadi undang-undang,”kata Arifin Saleh membuka acara konsultasi.
Himatul Aliyah Setyawati, mengatakan bahwa dalam konsultasi ini, sebagai Ketua Pansus dia ingin lebih banyak dapat masukan.
”Kami berharap mungkin ada masukan dari AMAN, seperti contoh undang-undang atau peraturan-peraturan yang dimiliki oleh pihak AMAN, bisa diberikan kepada Pansus. “Nanti bisa bekerja sama membahas Daftar Invetarisasi Masalah (DIM) dari pemerintah.
Kemarin kita sudah rapat pimpinan, kita berusaha untuk tetap menyelesaikannya pada periode ini,” ucap Ketua Pansus tersebut.
Pada kesempatan ini Sandra Moniaga menyampaikan prinsip-prinsip kajian kritis terhadap perspektif HAM.
“Apakah dalam draft rancangan undang-undang yang ada sekarang sudah mememenuhi standar-standar mendasar dari konsep HAM?,” tanya Sandra. Lebih jauh lagi Sandra mengajak peserta untuk melihat apakah di dalam draft rancangan itu sudah mencantumkan, bahwa adalah satu kewajiban bagi negara untuk melakukan hal-hal mendasar dari pemenuhan hak asasi manusia seperti,
menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak masyarakat adat.
“Akan sulit mencari argumentasi hukumnya kalau meletakkan rancangan undang-undang ini
sebagai suatu dasar hukum dari satu proses penyelesaian konflik masa lalu.
Kecuali ini dimaksudkan untuk mencegah konflik di masa depan,” papar Sandra Moniaga.
Komisioner Komnas HAM ini juga memberi contoh bagaimana mekanisme penyelesain konflik di Filipina, ada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, meskipun hanya menerima klaim dan Verifikasi atas tanah-tanah adat.
Myrna Safitri dalam presentasinya bertanya pada hadirin, “apakah kita akan mewujudkan RUU ini sebagai satu peraturan yang ideal,
sesuai mimpi kita atau kita akan membuat RUU yang mungkin tidak terlalu ideal tapi dapat diimplementasikan?,” tanya Myrna Safitri.
Karena hal ini tidak selalu sama, sehingga bagi saya menentukan itu lebih penting.
“Jika itu sudah jelas, kita kemudian bertanya, bagaimana mewujudkannya di tengah fakta,
bahwa sekarang ini juga ada peraturan-peraturan inisiatif, penyusunan-penyusunan peraturan ataupun kebijakan-kebijakan lain
yang juga tengah berlaku atau sebentar lagi akan berlaku?.
Itu pertanyaan yang ingin saya sampaikan dan mari kita menemukan jawabannya,” ajak Myrna pada hadirin.
Dalam presentasinya Myrna lebih jauh mengupas, apa sebenarnya pokok-pokok pengaturan penting buat masyarakat adat.
Kemudian bisa melihat seberapa selaras atau seberapa bertentangankah peraturan-peraturan yang ada, kebijakan-kebijakan atau RUU yang akan ada. “Lalu kira-kira apa rekomendasi pentingnya, mumpung ada ibu Himatul di sini yang bisa kita sampaikan pada beliau
untuk bicara pengaturan RUU ini ke depannya,” ujar Myrna.
RUU ini mencoba untuk menjawab tiga hal dalam Undang-Undang Dasar, pertama soal isu kepemerintahan, soal otonomi ulayat, ke dua soal HAM dan yang ke tiga soal kebudayaan, melestarikan dan memajukan kebudayaan. “Kalau tiga hal dalam konstitusi itu yang ingin dijawab oleh RUU ini, maka pertanyaan selanjutnya kita bisa melihat seberapa konsisten sebenarnya RUU ini untuk meng-addres tiga persoalan besar ini,” ulas Myrna lebih jauh.
Erasmus Cahyadi menyimpulkan bahwa apa yang disampaikan oleh Myrna Safitri dalam mengupas draft RUU ini cukup mengejutkan, karena banyak sekali yang harus dibenarkan, dari segi penormaan dan kesesuaiannya dengan peraturan perundang-undangan lainnya.“Kalau mengaturnya seperti draft yang ada sekarang, maka itu hanya pengaturan di atas kertas, tidak bisa diimplementasikan, karena akan membentur ke sana-sini,” kata Erasmus Cahyadi.**** JLG