Presiden Harus Turun Tangan Lindungi Ekosistem Hutan Kepulauan Aru

Bogor, 23 April 2014.  Ekosistem hutan Kepulauan Aru wajib dilindungi dan dipertahankan. Presiden Republik Indonesia harus memerintahkan Kementerian Kehutanan dan Kementerian Kelautan dan Perikanan, agar segera mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang akan tetap mempertahankan kelestarian ekosistem hutan di pulau-pulau kecil, salah satunya di Kepulauan Aru. Termasuk melaksanakan kebijakan yang melindungi dan menghormati hak-hak masyarakat adat dalam mengelola wilayah adatnya.

Menteri Kehutanan Republik Indonesia, Zulkifli Hasan telah menyatakan bahwa rencana pembukaan perkebunan tebu di Kepulauan Aru batal.  Kemiringan lahan yang tidak cocok serta tidak ekonomisnya melakukan investasi perkebunan tebu di Kepulauan Aru menjadi faktor pertimbangan Menteri Kehutanan. Pernyataan ini disampaikan  secara langsung  di sela-sela acara jumpa pers pada tanggal 10 April 2014 di Gedung Manggala Wanabakti, Kantor Kementerian Kehutanan di Jakarta.

Juru Kampanye Forest Watch Indonesia (FWI), Abu Meridian menyampaikan “Pernyataan Menteri Kehutanan perlu disambut baik, tapi apakah ini artinya hutan alam di Kepulauan Aru akan tetap dieksploitasi dengan cara lain?”.  Oleh sebab itu maka, “Komitmen tersebut harus dibuktikan dengan terbitnya surat keputusan untuk mencabut kembali persetujuan prinsip pencadangan bagi perkebunan tebu dan tidak memberikan peluang bagi perusahaan lain. Menteri Kehutanan juga harus berkomitmen tidak akan memberikan izin untuk mengkonversi hutan alam di wilayah lain seperti di Papua maupun pulau-pulau kecil lainnya”, tambah Abu.

Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 10 tahun 2011 dan diperpanjang dengan keluarnya Inpres Nomor 6 tahun 2013 menjelaskan bahwa perkebunan tebu adalah salah satu ijin yang dikecualikan dalam kebijakan tersebut. Hal ini menggambarkan bahwa moratorium kehutanan tidak berlaku untuk izin perkebunan tebu. Hasil analisis FWI antara Peta Indikatif Penundaan Izin Baru (PIPIB) V (area moratorium) dengan peta konsesi perusahaan tebu menunjukan adanya 67 ribu ha area konsesi berada di dalam area moratorium. Keseluruhan daratan Kepulauan Aru yang masuk dalam area moratorium seluas 190 ribu ha.

“FWI berdasarkan interpretasi citra landsat tahun 2013 menemukan 660 ribu ha atau 83% daratan di Kepulauan Aru berupa hutan alam. dimana 478 ribu ha hutan alam berada di luar area moratorium kehutanan. Seharusnya area hutan alam seluas itu masuk kedalam Peta Indikatif Penundaan Izin Baru (area Moratorium)”, tutur Abu.  Abu juga mempertegas bahwa “Harus ada perubahan yang besar dalam peta indikatif PIPIB VI nanti. Hutan alam di Kepulauan Aru harus dimasukan kedalam wilayah moratorium sehingga tidak ada alasan untuk mengeluarkan izin di wilayah tersebut”.

Abdon Nababan, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) juga menyatakan, “Presiden Republik Indonesia harus turun tangan melindungi ekosistem hutan di Kepulauan Aru dan hak-hak masyarakat adat yang sudah hidup dan mengelola wilayah adatnya masing-masing secara turun-temurun dan berkelanjutan.  Presiden harus memastikan semangat dan amar Putusan MK 35/X/2012 terlaksana di kawasan ini”, tegas Abdon.

Perlindungan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007 yang direvisi dengan Undang-Undang Nomor 4 tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, menyatakan bahwa pulau yang luasan lebih kecil atau sama dengan 2.000 km persegi dikategorikan sebagai pulau kecil. Kabupaten Kepulauan Aru terdiri dari 187 pulau. Berdasarkan analisis citra yang dilakukan, FWI menemukan hanya Pulau Trangan di Aru Selatan yang memiliki luas 2.300 km persegi, sisanya berada di bawah luasan 2.000 km persegi.

Dwi Lesmana, Peneliti Daerah Tangkapan Air FWI menjelaskan “Pulau-pulau kecil adalah wilayah yang memiliki sistem sirkulasi air yang sangat cepat.  Kegiatan konversi hutan di Kepulauan Aru sangat mengancam keberlanjutan ekologis pesisir dan pulau-pulau kecil yang ada di daerah tersebut. Menteri Kelautan dan Perikanan harus ikut berkomitmen untuk melindungi Kepulauan Aru”, tegas Dwi Lesmana.

Senada dengan itu, Sekretaris Jenderal AMAN, Abdon Nababan menambahkan, “Pemerintah juga memiliki kewajiban untuk mengakui, menghormati dan melindungi hak-hak Masyarakat Adat di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sesuai dengan pasal 60 Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007”.

 

Catatan untuk Editor:

1) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) adalah Organisasi Kemasyarakatan (ORMAS) independen yang anggotanya terdiri dari komunitas-komunitas Masyarakat Adat dari berbagai pelosok nusantara.
2) Forest Watch Indonesia (FWI) merupakan organisasi jaringan pemantau hutan independen yang terdiri dari individu-individu dan organisasi-organisasi yang memiliki komitmen untuk mewujudkan proses pengelolaan data dan informasi kehutanan di Indonesia yang terbuka dan dapat menjamin pengelolaan sumber daya hutan yang adil dan berkelanjutan. Salah satu kegiatan FWI juga melakukan kampanye dan monitoring terkait kerusakan hutan dan kejahatan di sektor kehutanan.
3) Kabupaten Kepulauan Aru merupakan sebuah Kabupaten Kepulauan yang terletak di sisi tenggara Provinsi Maluku, berbatasan langsung dengan Australia di Laut Arafura. Kabupaten ini terdiri dari sekitar 187 pulau, dengan 89 diantaranya berpenghuni.
4) Hasil Analisis FWI melalui interpretasi citra landsat tahun 2013 memperlihatkan bahwa 660 ribu ha atau 83% daratan di Kepulauan Aru berupa hutan alam. Sedangkan total luas daratan di Kepulauan Aru seluas 805 ribu ha.
5) Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 10 tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Ijin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut. Pada Diktum kedua poin b Inpres No. 10 tahun 2011 menjelaskan tentang pengecualian yang diberikan dalam penundaan pemberian ijin baru. Point tersebut berbunyi : “Pelaksanaan pembangunan nasional yang bersifat vital, yaitu: geothermal, minyak dan gas bumi, ketenagalistrikan, lahan untuk padi dan tebu”. Inpres ini direvisi pada tahun 2013 menjadi Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 06 tahun 2013.
6) Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Pada tahun 2014, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 1 tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
7) Pasal 35 UU Nomor 27 tahun 2007: Dalam pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, setiap Orang secara langsung atau tidak langsung dilarang:  (a) menambang terumbu karang yang menimbulkan kerusakan Ekosistem terumbu karang;  (b) mengambil terumbu karang di Kawasan konservasi;  (c) menggunakan bahan peledak, bahan beracun, dan/atau bahan lain yang merusak Ekosistem terumbu karang; (d) menggunakan peralatan, cara, dan metode lain yang merusak Ekosistem terumbu karang; (e) menggunakan cara dan metode yang merusak Ekosistem mangrove yang tidak sesuai dengan karakteristik Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; (f) melakukan konversi Ekosistem mangrove di Kawasan atau Zona budidaya yang tidak  memperhitungkan keberlanjutan fungsi ekologis Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; (g) menebang mangrove di kawasan konservasi untuk kegiatan industri, pemukiman, dan/atau kegiatan lain; (h) menggunakan cara dan metode yang merusak padang lamun; (i) melakukan penambangan mineral pada wilayah yang apabila secara teknis dan/atau ekologis dan/atau sosial dan atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan Masyarakat sekitarnya; serta (j) melakukan pembangunan fisik yang menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau merugikan Masyarakat sekitarnya.
8) Pasal 60 ayat 1 Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007: Dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Masyarakat mempunyai hak untuk: (a) memperoleh akses terhadap perairan yang telah ditetapkan HP-3, (b) memperoleh kompensasi karena hilangnya akses terhadap Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau  Kecil yang menjadi lapangan kerja untuk memenuhi kebutuhan  akibat pemberian HP-3 sesuai dengan peraturan perundang-undangan, (c)melakukan kegiatan pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, (d)memperoleh manfaat atas pelaksanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil, (e) memperoleh informasi berkenaan dengan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, (f) mengajukan laporan dan pengaduan kepada pihak yang berwenang atas kerugian yang menimpa dirinya yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil, (g) menyatakan keberatan terhadap rencana pengelolaan yang sudah diumumkan dalam jangka waktu tertentu, (h) melaporkan kepada penegak hukum atas pencemaran dan/atau perusakan Wilayah Pesisir  dan Pulau-Pulau Kecil yang merugikan kehidupannya, (i) mengajukan gugatan kepada pengadilan terhadap berbagai masalah Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang merugikan kehidupannya, serta (j) memperoleh ganti kerugian.
KONTAK UNTUK WAWANCARA

Forest Watch Indonesia (FWI)
Website: http://fwi.or.id
Telepon / Fax : +62 251 8333 308 / +62 251 8317 926
Narasumber :
• Juru Kampanye FWI, Abu Meridian (Email: abu.meridian@fwi.or.id HP : +62 857 1576 6732)
• Peneliti Daerah Tangkapan Air FWI, Dwi Lesmana (Email: dlesmana@fwi.or.id HP: +6281380160930)
Kontak : Mufti Ode (email: muftiode@fwi.or.id HP : +62 856 9305 0205)

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)
Website: http://www.aman.or.id
Telepon / Fax : +62 251 8297 954 / +62 251 8370 6282
Narasumber : Sekjen AMAN, Abdon Nababan  (Email: abdon.nababan@aman.or.id ; HP : +62 811 111 365)
Kontak : Firdaus Cahyadi (Email: firdaus.cahyadi@aman.or.id HP : +62 815 1327 5698)

Untuk kebutuhan peta dan foto, silakan menghubungi: Mufti Ode (email: muftiode@fwi.or.id HP: +62 856 9305 0205)

Tinggalkan Balasan