RDPU: Masyarakat Adat Berpendapat, DPR Tak Yakin

RDPU: Masyarakat Adat Berpendapat, DPR Tak Yakin

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan perwakilan masyarakat adat Cigugur, Cirendeu, dan Kampung Naga menghadiri Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) terkait Rancangan Undang-Undang tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Hukum Adat (RUU PPHMHA) di Gedung Nusantara II, Senayan, Jakarta, Rabu (5/2).

RDPU ini adalah jawaban untuk permohonan resmi yang diajukan oleh AMAN, dengan surat bertanggal 17 Januari 2014. Permohonan ini diajukan karena AMAN menilai proses RUU PPHMHA ini berjalan lambat.

Menurut daftar hadir, seharusnya ada 30 orang anggota Pansus RUU PPHMHA di RDPU tersebut. Namun hingga RDPU selesai, hanya ada empat orang, yaitu Himmatul Alyah Setiawaty (Ketua), Popong Otje Djundjunan, Nasrudin, dan Syaiful Anwar.

RDPU ini dimanfaatkan untuk menyampaikan masukan dan keluhan terkait RUU PPHMHA. “Yang kami butuhkan adalah menjaga keutuhan tradisi. Kami jgn seolah-olah ingin didaftar sebagai masyarakat adat. Adat adalah kodrati, bukan pemberian negara. Kami ingin jadi warga yang mencintai negaranya tanpa dipolitisasi,” kata Dewi Kanti, Perwakilan masyarakat adat Cigugur. Dewi juga melihat RUU PPHMHA saat ini masih bias terhadap perempuan adat.

Sedangkan Asep, perwakilan masyarakat adat Cirendeu menyoroti urusan administrasi yang kerap mendiskriminasi masyarakat adat. “KTP kami, bagian agamanya kosong. Masih untung kami ditulis warga negara Indonesia,” katanya.

“Masyarakat adat kami tidak pernah menyusahkan negara. Tidak pernah minta raskin kalau kurang beras. Jangan sampai kami asing di sini. Jadi tamu di negara sendiri. Siapa yang menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia ini? Warganya, termasuk masyarakat adat,” tegas Asep.

Ade Suherlin berbagi kisah kehidupan harmonis Kampung Naga dan alamnya. “Cara hidup kami adalah hidup bersama alam, bukan sekadar hidup di alam. Kampung Naga diberi kompor gas. Untuk apa? Tradisi kami pakai tungku dan hutan kami tetap bagus.”

Tetua adat Kampung Naga itu menyesalkan langkah-langkah pariwisata yang dilakukan pemerintah. “Pemerintah sekarang ini menjadikan budaya sebagai pariwisata. Kami menolak. Pariwisata itu tontonan. Budaya adalah tuntunan. Kami bukan tontonan.”

Baginya, bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai budayanya. “Mana buktinya?” tanya Ade.

 

Pandangan PB AMAN dan Pansus DPR
Perwakilan Pengurus Besar AMAN di RDPU ini menyatakan, sebuah undang-undang yang mengakui dan melindungi hak-hak masyarakat adat harus segera ada karena konflik terus terjadi. Di saat RUU PPHMHA masih digantung, telah muncul aturan-aturan lain yang dinilai berpengaruh negatif terhadap masyarakat adat.

Salah satu usul AMAN adalah keberadaan komisi nasional dan daerah yang khusus menangani urusan masyarakat adat. “Komisi itu baiknya independen, terdiri dari perwakilan pemerintah dan masyarakat adat. Komisi ini dapat menjadi konsolidasi pemerintah dan masyarakat adat,” kata Rukka Sombolinggi, Deputi Sekjen AMAN untuk Urusan Advokasi, Hukum, dan Politik.

Nasrudin mengindikasikan ketidakyakinan DPR dapat segera mengesahkan RUU PPHMHA. “RUU ini memang inisiatif DPR, tetapi melibatkan banyak kementerian sehingga tidak mungkin selesai secepatnya. Agar hasilnya maksimal dan tidak di-judicial review,” katanya.

“Kami menyadari bahwa dalam kemerdekaan hampir 70 tahun ini, masih banyak masyarakat Indonesia yg blm merdeka,” tambah anggota Pansus DPR untuk RUU PPHMHA itu. Masyarakat Adat adalah salah satunya.

____

Foto: Annas Radin Syarif, PB AMAN

Tinggalkan Balasan