Pada 2013 AMAN telah menangani 143 kasus kekerasan terhadap masyarakat adat.
Jakarta, 27 Januari 2014 – Konflik disertai kekerasan berupa perampasan tanah, wilayah, dan sumber daya alam di wilayah adat akan terus meningkat pada tahun ini, jika pemerintah tidak serius mengimplementasikan dan menindak lanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.35/PUU-X/2012 bahwa hutan adat bukan lagi sebagai hutan negara.
Perkembangan perjuangan hak masyarakat adat dipaparkan dalam Konferensi Pers “Catatan Awal Tahun AMAN: Tonggak Sejarah Masyarakat Adat Harus Diperkuat” di Jakarta, Senin (27/1). Hadir sebagai pembicara adalah Abdon Nababan, Sekretaris Jenderal AMAN, Sandra Moniaga, Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Noer Fauzi Rachman, Direktur Eksekutif Sajogyo Institute, Danang Widoyoko, Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW), Achmad Sodiki, Mantan Hakim Mahkamah Konstitusi.
Selama 2013, AMAN menangani 143 kasus konflik kekerasan terhadap masyarakat adat. Diperkirakan jumlah kasus konflik pada tahun lalu tersebut tiga kali lebih besar dari yang telah ditindaklanjuti AMAN karena banyak yang tidak dilaporkan dan tidak terdokumentasi dengan baik. Bahkan, enam bulan paska penetapan UU P3H/Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan yang disahkan pada 6 Agustus 2013 atau tiga bulan setelah Putusan MK No 35, sudah 11 orang warga masyarakat adat ditangkap dan terjadi pengusiran terhadap 378 kepala keluarga di Bengkulu dan Kalimantan Selatan dengan menggunakan UU P3H ini. Pada tahun ini jumlah konflik akan tetap tinggi bahkan terus meningkat karena pemerintah lamban menindaklanjuti Putusan MK No.35.
Abdon Nababan mengatakan perkembangan selama delapan bulan sejak Putusan MK 35 dibacakan Mei 2013 sudah mengarah pada kesimpulan bahwa Menteri Kehutanan (Menhut) tidak melaksanakan komitmen Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. “Sesuai janjinya, Presiden SBY harus turun tangan secara pribadi: mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) tentang wilayah adat dan mencabut seluruh peraturan dan keputusan Menhut yang menghambat pelaksanaan Putusan MK 35. Masih tersedia waktu beberapa bulan lagi bagi Presiden bahwa beliau adalah pemimpin sejati yang akan dikenang jasanya oleh masyarakat adat nusantara,” kata Abdon.
Menurut Sandra Moniaga, Komnas HAM memaknai Putusan MK tersebut sebagai bentuk koreksi negara atas kebijakan yang tidak didasari penghormatan hak-hak asasi manusia yang selama ini telah dijadikan dasar hukum atas pengakuan pemerintah secara sepihak atas wilayah-wilayah masyarakat hukum adat sebagai bagian dari hutan negara.
“Komnas HAM berpendapat bahwa putusan MK tersebut semestinya ditempatkan sebagai pintu masuk untuk melakukan langkah-langkah pemulihan/restitusi hak ulayat masyarakat hukum adat atas wilayah adatnya, termasuk hutan adatnya,” ujarnya.
Menurut Noer Fauzi Rachman, presiden harus membuat satuan tugas khusus untuk mendaftarkan klaim-klaim kepemilikan masyarakat adat atas wilayah adatnya. Serta, mengarahkan dan mengkoordinir Kementerian Kehutanan, Badan Pertahanan Nasional, Badan Informasi Geospasial, Departemen Dalam Negeri, Departemen Sosial, dan lembaga-lembaga terkait.
“Yang terpenting adalah meralat kebijakan, aturan dan praktek kelembagaan yang menyangkal status masyarakat adat sebagai pemilik wilayah adatnya, serta membuat “wilayah adat” menjadi satu jenis hak agraria tersendiri yang dipegang oleh suatu subjek hukum tersendiri pula yang disebut “masyarakat hukum adat,” katanya.
Bagi masyarakat adat dan juga bangsa Indonesia Putusan MK No.35 merupakan tonggak sejarah karena berarti diakuinya kembali HAM masyarakat adat terhadap wilayah mereka. Putusan MK tersebut sejalan dengan Rio Declaration on Environment and Development, yaitu masyarakat hukum adat mempunyai peranan penting dalam pengelolaan dan pembangunan lingkungan hidup karena pengetahuan dan praktik tradisional. Karena itu pada tahun ini tonggak sejarah tersebut harus diperkuat dengan perundangan yang makin menjamin HAM masyarakat adat, seperti pengesahan Rancangan Undang-Undang tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat (PPHMA).