Pemerintah diminta untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat (RUU PPHMHA). “Sudah sangat lama masyarakat adat mendesak pemerintah agar ada undang-undang yang khusus mengakui dan melindungi hak-hak masyarakat adat,” kata Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Abdon Nababan di Jakarta, Rabu (27/11).
Pernyataan itu disampaikan dalam acara Konsultasi Nasional RUU PPHMHA yang dihadiri oleh Tenaga Ahli Panitia Khusus (Pansus) RUU PPHMHA Pramaartha Pode, belasan pengurus wilayah AMAN, dan berbagai organisasi masyarakat sipil Indonesia.
Pram sepakat agar pembahasan RUU PPHMHA dipercepat. “Januari hinggal April nanti, apakah akan ada anggota DPR di ruang rapat?” tanyanya, mengaitkan dengan persiapan menjelang Pemilihan Umum 2014.
Badan Legislasi DPR menerima RUU PPHMHA ke dalam Program Legislasi Nasional 2012. Pada 2013 Baleg menyelenggarakan konsultasi di provinsi Papua Barat, Kalimantan Tengah, dan Sumatera Barat.
April 2013, RUU PPHMHA resmi berstatus RUU Inisiatif DPR dan siap untuk dibahas bersama pemerintah. Pada bulan berikutnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menunjuk empat kementerian, yakni Kementerian Kehutanan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Hukum dan HAM, serta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, sebagai wakil Pemerintah dalam melakukan pembahasan atas RUU PPHMHA bersama Pansus RUU PPHMHA di DPR-RI.
Pram mengungkapkan, Pansus RUU PPHMHA telah menyelenggarakan rapat dengar pendapat umum dengan mengundang civitas akademika, seperti Universitas Indonesia (Depok, Jawa Barat) dan Universitas Hasanuddin (Makassar, Sulawesi Selatan) pada Oktober 2013.
Terkait dengan adanya agenda legislasi selain RUU PPHMHA yang berhubungan dengan masyarakat adat seperti RUU Desa dan RUU Pertanahan, Abdon menambahkan bahwa materi ketiga RUU ini tidak sinkron. RUU Pertanahan dan RUU Desa masih mengatur sebagian hak-hak masyarakat adat, yang seyogianya diatur di RUU PPHMHA.
Di kalangan masyarakat sipil, diskusi untuk sinkronisasi dan harmonisasi terhadap ketiga RUU itu dilakukan pada akhir Oktober 2013. Pelaksananya adalah AMAN, Fakultas Hukum UGM, dan Epistema Institute. “Diskusi itu merekomendasikan agar dilakukan segera harmonisasi terhadap ketiga RUU tersebut agar tidak terjadi tumpang tindih pengaturan yang berakibat buruk pada penegakan hukum ketika nanti ketiga RUU tersebut sah menjadi undang-undang,” kata Direktur Advokasi AMAN Erasmus Cahyadi saat memoderasi sesi diskusi.
Erasmus mengakui, rekomendasi tersebut mungkin sulit untuk dilakukan oleh DPR berhubung laju percepatan pembahasan ketiga RUU tersebut berbeda. “Ruang untuk melakukan harmonisasi lebih mudah dilakukan untuk RUU Pertanahan dengan RUU Desa daripada dengan RUU PPHMHA,” tambahnya. Saat ini pembahasan RUU Desa telah memasuki tahap akhir, sedangkan pembahasan RUU Pertanahan lebih maju daripada RUU PPHMHA.
Di sisi lain, RUU PPHMHA dinilai belum melihat masalah-masalah masyarakat adat dari dimensi hak asasi manusia (HAM). “Pendekatan HAM penting karena harus ada penegasan bahwa penyelenggaraan hak-hak masyarakat adat tidak boleh melanggar hak-hak asasi orang lain,” jelas Abdon. Lebih lanjut Abdon mengatakan bahwa
AMAN juga keberatan dengan penggunaan istilah Masyarakat Hukum Adat dalam RUU. Terkait dengan hal tersebut Abdon menyatakan bahwa AMAN hingga hari ini masih memperjuangkan agar istilah yang dipakai adalah istilah Masyarakat Adat sebagaimana diperjuangkan AMAN sejak Kongres Pertama-nya pada 1999. Abdon menegaskan bahwa penggunaan istilah Masyarakat Adat dimaksudkan untuk mengakomodasi dua istilah sekaligus dalam UUD 1945, yaitu istilah Masyarakat Hukum Adat dalam Pasal 18 B ayat (2) dan istilah Masyarakat Tradisional dalam Pasal 28 I ayat (3).
Hal lain yang disoroti Abdon adalah mengenai ciri-ciri Masyarakat Hukum Adat sebagaimana diatur saat ini di dalam RUU PPHMHA. Ia menyatakan bahwa ciri-ciri dari keberadaan masyarakat adat tidak boleh diterjemahkan sebagai “syarat” untuk diakui sebagai masyarakat adat.
Selain itu, hal penting lainnya adalah keberadaan Panitia Masyarakat Hukum Adat yang diatur dalam RUU PPHMHA. Tidak ada yang menjamin bahwa panitia ini dapat bekerja tanpa hambatan. Juga tidak ada yang dapat memastikan bahwa panitia itu bekerja dengan konsep yang benar tentang masyarakat hukum adat. “Bagaimana bila pemerintah daerah ingin menghambat identifikasi dan pengakuan ini? Bagaimana agar panitia di lapangan tidak memakai ciri-ciri masyarakat adat sebagai syarat ada atau tidaknya masyarakat adat ketika panitia ini melakukan verifikasi masyarakat adat?” tanya Abdon.
Terkait pengakuan legal secara nasional, Filipina adalah satu-satunya negara Asia yang memiliki undang-undang khusus tentang masyarakat adat. Disahkan pada 1997, Indigenous Peoples Rights Act melindungi hak-hak masyarakat adat di Filipina, termasuk atas wilayah adatnya, sekaligus mendasari pembentukan komisi nasional masyarakat adat yang melapor langsung ke kantor presiden.