Konflik Sumber Daya Alam di Maluku Utara

Dari Seminar Identifikasi dan Kajian Konflik Pengelolaan SDA di  Maluku Utara oleh Unkhair dan Bappeda Malut
Oleh: Munadi Kilkoda
Ketua BPH AMAN Malut

Catatan ini dibuat sebagai bahan refleksi terhadap konflik Sumber Daya Alam (SDA) di Maluku Utara yang diperoleh dari seminar sehari  Universitas Khairun  2 November 2013 di Hotel Surya Pagi Ternate.

Merujuk pada UUD 1945 pasal 33 ayat (3) berbunyi ”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Pasal ini memberikan kewenangan kepada negara untuk mengelola dan memanfaatkan sumberdaya alam agar tercapainya kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia. Jika demikian, maka dilakukan koreksi bersama kebijakan pembangunan pada sektor sumberdaya alam saat ini. Koreksi untuk melihat apakah cita– cita yang dimandatkan konstitusi ini sudah tercapai atau tidak? Apakah pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam di bangsa ini memunculkan masalah atau tidak? Apakah rakyat sebagai pemilik kedaulatan atas sumberdaya alam ini memperoleh keadilan dalam pengelolaan sumberdaya alam itu atau tidak? Mari kita melihat potret yang terjadi di Maluku Utara

Akar Konflik Sumber Daya Alam
Kasus agraria yang banyak merugikan masyarakat Maluku Utara termasuk di dalamnya masyarakat adat adalah masalah klasik yang tidak pernah selesai. Kasus tersebut bukan berkurang justru semakin bertambah seiring dengan regulasi dan kebijakan pembangunan pada sektor sumberadaya alam yang dirumuskan oleh pemerintah selama ini.

Riset Unkhair menemukan izin pertambangan di beberapa tempat yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat dan daerah menimbulkan masalah di lapangan, baik CSR, lingkungan, tanah, hutan, tenaga kerja dan mengusik keharmonisan masyarakat setempat. Perusahan – perusahan tersebut adalah PT Nusa Halmahera Mineral (NHM) di Halut berkonflik dengan Suku Pagu, PT Aneka Tambang di Haltim, berkonflik dengan suku Maba dan Buli, PT Karya Cipta Sukses Lestari berkonflik dengan masyarakat Bicoli, PT MMC berkonflik dengan masyarakat Ngele-Ngele dan Pemkab Morotai, PT GMM berkonflik dengan masyarakat Gane Dalam, PT Weda Bay Nikel dan PT Tekindo Energi berkonflik dengan Suku Sawai.

Konflik SDA/Agraria ini jauh sebelum itu sudah didokumentasikan oleh AMAN dan Jaringan Simpul LSM di Maluku Utara. Data AMAN, ada 53 warga adat di tahun 2012 s/d 2013 yang di kriminalisasi karena berjuang mempertahankan tanahnya yang dikuasai oleh izin tambang dan sawit. Konteks kebijakan ini semakin berbahaya karena mengancam kehidupan masyarakat adat/lokal setempat.

Pemerintah justru menutup mata membiarkan masalah tersebut terjadi. Tarulah kasus yang sementara ini dihadapi Suku Sawai dengan PT Tekindo dan PT Weda Bay Nikel. Sekitar 3.000 jiwa warga adat Sawai dan Tobelo Dalam di sekitar tambang yang terancam kehilangan sumber penghidupan mereka, termasuk sumber air bersih. Masalah yang menyebabkan masyarakat kehilangan hak atas tanah, wilayah adat dan sumber air bersih tidak pernah tuntas terselesaikan. Kalaupun selesai, itu justru menimbulkan masalah baru di masa depan. Ganti rugi seperti yang di dilakukan PT WBN bukan cara yang bermartabat dalam penyelesaian konflik.

Beberapa bulan lalu ada riset teman – teman peneliti dari perguruan tinggi di Australia terhadap proyek yang didanai Bank Dunia yakni PT Weda Bay Nikel. Dalam laporan yang mereka buat menemukan bahwa PT. WBN dalam menggunakan lahan milik masyarakat Suku Sawai dan Suku Tobelo Dalam tidak berdasarkan hak atas persetujuan penggunaan lahan dengan berdasarkan pada prinsip persetujuan bebas tanpa paksaan yang mendahulukan informasi atas dampak yang akan dialami masyarakat ketika kehilangan lahan tersebut (free, prior, informed, consente).

Masyarakat tidak diberikan pilihan lain selain melepas tanah yang sudah mereka kelola sejak leluhur mereka hidup di wilayah tersebut. Akibatnya sumber penghidupan menjadi hilang. Masyarakat dikondisikan pada situasi yang tidak diuntungkan, pada akhirnya mereka beralih profesi dari petani dan nelayan menjadi buruh di perusahan tersebut.

Aneh lagi, masyarakat dilarang mengakses hutan adat mereka yang sudah ditetapkan pemerintah sebagai hutan lindung dan taman nasional. Sementara PT WBN, PT NHM, dan PT ANTAM lewat Perpu Nomor 41. Tahun 2004 diperbolehkan melakukan kegiatan tambang di hutan lindung. Konflik sumber daya alam ini bukan lagu baru untuk kita di Maluku Utara. Berbagai kebijakan dibuat untuk memuluskan langkah kapital menguasai SDA. Salah satu yang tren saat ini adalah Program Masterplan Percepatan Pertumbuhan dan Perluasan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang mendorong Maluku Utara bergerak pada dua sektor, yakni Perikanan di Morotai dan Tambang di Halmahera. Ini paradigma pembangunan yang sangat keliru yang lebih mengejar pertumbuhan ekonomi tanpa memikirkan dampak kerugian yang nanti dialami masyarakat secara permanen. Berdasarkan data Kementerian ESDM di 4 kabupaten/kota di Maluku Utara berdomisili 148 Ijin Usaha Pertambangan (IUP),  jika ditambah dengan beberapa Kabupaten yang tidak termasuk di dalam data ini, maka dipastikan jumlah IUP di Maluku Utara lebih dari 200. Sayang sekali pulau kecil seperti Maluku Utara justru kebijakan pembangunannya disamakan dengan pulau besar.

Akar konflik pada sektor sumberdaya alam dimulai dari perumusan kebijakan pemerintah yang tidak memperhatikan aspek lain seperti hak masyarakat adat atas tanah, wilayah dan sumberdaya alam. Kebijakan yang dibuat justru membatasi masyarakat untuk memperoleh haknya. Perusahan yang memegang izin konsesi juga merasa berkuasa atas segala yang ada di dalamnya, sehingga seenaknya melakukan pengusiran kepada masyarakat yang lebih dulu ada di dalam wilayah konsesi tersebut. Kesalahan pemahaman pemerintah atas penguasaan SDA seperti ini jika tidak diperbaiki, akan memicu konflik yang lebih besar yang akan merugikan banyak pihak.

Jalan Keluar
Penyelesaian konflik agraria pada sektor sumberdaya ini membutuhkan langkah revolusioner. Seperti revisi regulasi pada sektor SDA yang banyak menimbulkan konflik, termasuk juga peninjauan kembali ijin-ijin pertambangan dan sektor lain yang bermasalah dengan masyarakat. Pemerintah juga harus mengoreksi program MP3EI, karena berpeluang mendatangkan konflik agraria yang berkepanjangan yang akan merugikan masyarakat adat/lokal. Keputusan MK terhadap UU Kehutanan yang telah memisahkan hutan adat dengan hutan negara juga harus dilaksanakan oleh pemerintah daerah dengan melakukan inventarisasi hutan adat serta membuat perda untuk mengakui keberadaan masyarakat adat beserta haknya. Keputusan MK ini adalah jalan keluar untuk menyelesaikan konflik tenurial yang selama ini memicu konflik masyarakat adat dengan pemerintah dan pemegang izin di sektor kehutanan.

Selama ini pemerintah senang membuat konflik tapi tidak memiliki cara dalam menyelesaikan konflik tersebut. Kita memang butuh mekanisme penyelesaian konflik yang melibatkan para pihak, namun mekanisme saja tidak cukup untuk menjawab masalah yang dihadapi oleh masyarakat kalau paradigma yang eksploitatif itu tidak dirubah oleh pemerintah.

Akhirnya apapun mekanisme yang dibuat, dan sehebat apapun mekanisme itu, jika hulu di mana awal konflik itu bermula tidak diperbaiki, maka sama saja membuang garam di laut. Artinya konflik akan terus–menerus terjadi

Sumber: http://malutpost.co.id/2013/11/06/konflik-sumber-daya-alam-di-maluku-utara/

Tinggalkan Balasan