Jakarta 4 Oktober 2013-Gerakan pemulihan dan pengakuan terhadap masyarakat adat bisa menjadi inspirasi bagi anggota dewan tingkat kabupaten. Hal ini terjadi saat anggota DPRD Kab Toba Samosir secara mengejutkan melaksanakan kunjungan kerja ke kantor Pengurus Besar Alinasi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Rombongan anggota legislatif daerah itu adalah Mangapul Siahaan, Henri P Simanjuntak, Jojor Tambunan Wkl Ketua DPRD , Robinhot Sinurat, Siti Nurya Tp Bolon, Dua Robet Huta Julu, Adb Gumanton dan Monang Naipospos. Mereka secara resmi datang menggali informasi berkait dengan pemulihan hak-hak masyarakat adat yang menjadi inspirasi mereka untuk melindungi masyarakat adat di Wilayah Tobasa.
Mereka nngin mendapat masukan secara langsung dari Sekjen AMAN Abdon Nababan, apa sebenarnya implemetasi Putusan MK-RUUPPH MA terhadap komunitas masyarakat adat nantinya dan bagaimana mengaturnya lewat peraturan daerah (PERDA).
Ketua Komisi C DPRD Toba Samosir, Monang Naipospos mewakili rekan-rekannya menyampaikan permasalahan yang sedang dihadapi masyarakat 5 desa di Kabupaten Toba Samosir antara lain Desa Sampuara, Sigaol Barat, Sigaol Timur, Siregar Aek Nalas, Desa Parik.
Lalu tanggal 4 Oktober rombongan DPRD Tobasa ke Planologi Rencana Kehutanan menyampaikan permohonannya agar ke lima desa tersebut dikeluarkan dari peta kawasan hutan SK Menteri no 44 tahun 2004.
“Kami sebenarnya tidak mau ikut campur soal SK Menteri Kehutanan no 44. Masyarakat dan anggota dewan di sana merasa bahwa SK tersebut tidak relevan. Kami sudah siapkan anggaran 400 juta rupiah pada Dinas Kehutanan Kabupaten untuk pemetaan, supaya wilayah itu dikeluarkan dari peta kawasan hutan. Saya hanya minta pada Dishut kabupaten memberi peta non SK 44, mereka katakan itu masih sulit”.
Padahal Sebelum register dan kawasan hutan SK 44 ada, mereka sudah berada di kawasan itu, ini dengan bukti bahwa sudah ada perkampunga dan makam di sana. Ada ketidakjelasan dalam usulan enclave Tata Ruang Wilayah Propinsi dan kami ingin memastikan hal ini,” papar Monang Naipospos.
Menurut Chaerudin Mangkudisastra, Kasubdit Rencana Kehutanan II, revisi diproses pada tingkat Tata Ruang Provinsi Sumatera Utara dan sejauh ini belum final, sudah proses di tingkat tinggi.
Jadi kita tunggu saja hasil akhir dari proses final tersebut. Ada uji konsistensi istilahnya. Usulan, dikaji tim terpadu lalu dikonsultasi dan dipublikasikan. Kita tidak bisa langsung mengeluarkannya sebab ada tahapan-tahapan hingga akhirnya ditetapkan.
Namun bisa juga diusulkan secara parsial dimana persayaratannya cukup banyak. Usulan dari bupati ke tingkat gubernur, lalu gubernur merekomendasikannya ke kehutanan. Ini menjadi wewenang bupati. Bupati harus mampu membuat data riwayat wilayah yang akan dikeluarkan, sebab bupatilah yang mengkomandoi proses enclave parsial,” ujar Chaerudin Mangkudisastra. ***JLG