Soal Hutan Adat Bukan Lagi Hutan Negara
Medan, AMAN SUMUT sosialisasikan Putusan Mahkamah Konsitusi (MK) Soal Hutan Adat Bukan Hutan Negara diaula Universitas Darma Agung (UDA) Medan, Senin (23/9). Setelah MK mengabulkan sebagian besar Judicial Review Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999 yang diajukan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) pada tanggal 16 Mei 2013 lalu
Dalam Acara tersebut turut hadir, dari berbagai Instansi pemerintah, aparat, akademisi, mahasiswa dan perwakilan masyarakat adat dari berbagai kampung yang ada di Langkat, Medan, Deli Serdang, Pak-Pak Barat, Dairi danTapanuli maupun Karo.
Dalam kesempatan itu HarunNuh Ketua Badan Pengurus Harian (BPH) AMAN Sumatera Utara menjelaskan, ini perubahan penting bagi masyarakat adat di republik ini. Putusan yang memulihkan rasa kebangasaan masyarakat adat yang selama ini sudah hampir putus asa.
Saat ini, dengan hutan adat bukan lagi hutan negara, hak mengelola dan memanfaatkan ada pada masyarakat adat. Dimana sebelumnya diwilayah hutan adat, oleh pemerintah malah memberi izin-izin pengelolaan hutan kepada perusahaan-perusahaan seperti HPH dan HTI. Sehingga konflik-konflik bermunculan dan menyebabkan ribuan Masyarakat Adat ditangkap.
Oleh karena pasal-pasal yang diuji itu tidak konstitusional selama 14 tahun berjalan. Jadi, Kementerian Kehutanan sudah tepat meminta maaf kepada masyarakat adat atas UU Kehutanan.
Meskipun begitu, kata HarunNuh yang juga Calon Bupati Deli Serdang Periode 2014-2019, keputusan ini harus bisa menjadi pintu masuk rekonsiliasi antara pemerintah dan masyarakat adat, guna untuk memetakan wilayah hutan adat yang selama ini dikaburkan. Kementerian Kehutanan (Kemenhut) juga harus segera mengidentifikasi kawasan hutan yang masuk hutan adat.
Masyarakatpun, diharapkan segera memetakan wilayah. “Jika belum bisa memetakan setidaknya ada tanda, misalnya dengan menanami pohon atau memberi batas beton serta memasang plang. Kerja ini harus lebih cepat. Jika tak segera diselesaikan, maka berpotensi menjadi konflik besar”, ujar HarunNuh yang juga KetuaUmum Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI).
Didalam dialog tersebut, Prof. Dr. Bungaran Antonius Simanjuntak, seorang akademisi dalam presentasinya mengatakan, UU No. 41/1999 tidak pro rakyat, karena negara tidak mengakui adanya hutan adat milik rakyat, sebelum terjadinya judicial review terhadap Undang –Undang – tersebut yang dimohonkan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara.
Dampak dari hal tersebut, (1) Hutan milik Rakyat diserahkan (dirampas) Kemenhut Corporate dengan izin Hak Konsesi. (2) Memberi kebebasan dan peluang kepada perusahaan asing maupun swasta dalam negeri untuk mengekploitasi hutan, yang ikut ditanami rakyat (yang dilibatkan pemerintah) dengan program penghijauan nasional, tanam sejuta pohon, reboisasi dan lain-lain. (3) Rakyat melawan untuk mempertahankan tanah adatnya yang telah diwarisi dari nenek moyang sejak ratusan tahun bahkan ribuan tahun lalu.
Pemerintah, DPR bersama Masyarakat Adat, Akademisi, PT, NGO, ORMAS membahas semua konflik-konflik agraria yang terjadi di Sumatera Utara dengan serius serta mendasar. Agar tebitnya keputusan tentang pedoman penyelesaian konflik pertanahan, disamping itu gubernur dan bupati harus segera menerbitkan atau memberikan prasasti pengakuan wilayah masyarakat adat, saran Bungaran dalam forum tersebut. ***(Ramadhan Anshari)