Pontianak 12-9-2013. Dewan Perwakilan Daerah RI (DPD bekerjasama dengan Megisiter Hukum Universitas Tanjungpura Pontianak, menyelenggarakan Seminar Nasional dengan thema: “Model Pengakuan Masyarakat Hukum Adat Dalam Wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia di Hotel Orchardz A Yani, Pontianak (9/11). Sebagai narasumber dalam seminar ini hadir antara lain Mina Susana Setra Deputi II PB Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) . Pada presentasinya tentang Posisi Hutan Adat Dalam Hukum Indonesia Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012 tentang Undang Undang Kehutanan mengatakan, “Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012 merupakan keputusan yang penting bagi masyarakat hukum adat di Indonesia. Putusan tersebut bukan saja memberikan pengakuan mengenai hak masyarakat hukum adat atas hukum adat, tetapi lebih luas lagi. Mahkamah Konstitusi sudah menegaskan hak konstitusional masyarakat hukum adat. Sebelum keluarnya putusan MK No. 35, UU No. 41 tahun 1999, sebenarnya telah banyak produk-produk perundang-undangan yang mengakibatkan terjadinya kriminalisasi masyarakat adat. Selama ini terjadi pengabaian terhadap hak masyarakat hukum adat atas hutan adat, karena hutan adat masuk sebagai bagian dari hutan Negara,” ujarnya.
Sebagai narasumber Akademisi DR. Firdaus, SH.,M.Si, dalam makalahnya menyampaikan tentang Dimensi Pengakuan Masyarakat Hukum Adat Dalam Wadah Negara Kesatuan Indonesia (Suatu Perspektif Hukum Tatanegara) ia menjelaskan;
“Ada dua isu yang harus didiskusikan terlebih dahulu, jika kita membicarakan konstruksi pengakuan eksistensi masyarakat hukum adat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yaitu esensi bentuk negara kesatuan, siapa dan dimana letak masyarakat hukum adat (wilayah), apa hak-hak yang melekat pada masyarakat hukum adat. Apakah hak-hak tersebut dapat diberikan dalam konteks negara kesatuan?,” paparnya.
Dalam memberikan pengakuan dan penghormatan terhadap hal-hak masyarakat hukum adat, perundang-undangan yang ada hanya memberikan pengakuan hak hukum yakni hak ulayat terhadap sumberdaya agraria. Persoalannya adalah bahwa masalah pengakuan terhadap masyarakat hukum adat bukan hanya pengakuan terhadap hak-hak hukum khususnya hak ulayat terhadap sumber daya agraria tetapi juga menyangkut pengakuan masyarakat hukum adat sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai wilayah territorial, hak mengatur rumah tangganya sendiri, mempunyai sistem hukum dan mempunyai kesatuan penguasa.
Pada akhir penjelasannya ia mengatakan, “Dalam pengimplementasian bentuk pengakuan dan penghormatan negara terhadap masyarakat hukum adat perlu adanya pengaturan perundang-undangan yang mengatur secara rinci tentang adanya pengakuan terhadap wilayah territorial masyarakat hukum adat berupa desa adat sebagai wadah politik dan hukum yang berbeda dengan desa administrasi dalam wadah Negara Kesatuan Indonesia.
Adanya pengakuan terhadap bentuk pemerintahan yang dikenal dalam lingkungan masyarakat hukum adat sebagai sub sistem pemerintahan negara yang merupakan wujud pengakuan terhadap hak politik mereka dan adanya pengakuan sistem hukum dari masyarakat hukum adat yang diselaraskan dengan sistem hukum nasional.
Dalam kesempatan yang sama H. Ishaq Saleh selaku narasumber yang juga adalah anggota DPD RI menerangkan bahwa pengakuan atas eksistensi masyarakat hukum adat perlu dilengkapi dengan pengakuan dan perlindungan atas hak-hak yang menyertai keberadaan masyarakat adat. “Tidak ada eksistensi tanpa pemenuhan hak dan kebebasan dasar,” pungkasnya.
Ia juga menambahkan pengakuan atas keberadaan dan hak masyarakat adat perlu diuraikan lebih jauh dalam berbagai peraturan perundangan, baik itu undang-undang maupun aturan turunannya hingga pada Peraturan Daerah. *** (Depriadi)