Pemaparan Hasil Konferensi Global Pemetaan Partisipatif Wilayah Adat

Pemaparan Hasil Konferensi Global Pemetaan Partisipatif Wilayah Adat
Pemaparan Hasil Konferensi Global Pemetaan Partisipatif Wilayah Adat

Jakarta 5 September 2013. “Peta adalah alat penjajahan yang utama, dari peta ke penamaan satu wilayah, lalu ke hukum, itu prosesnya. Dalam konferensi kemarin di Samosir hal-hal yang filosofis dan historis seperti itu dibahas kembali, bukan soal-soal tehnis,” papar Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, Abdon Nababan.

“Apa sesungguhnya yang ingin dan harus kita pertarungkan ketika kita bicara peta? Membicarakan peta ada dua budaya yang bertarung. Pertama apa yang disebut sebagai The culture of sharing, budaya berbagi dan  The culture of owning, budaya memiliki yang melahirkan rezim Haki (hak kekayaan intelektual) atau rezim property right sekarang ini. Culture of sharing itu berkait dengan budaya leluhur kita, yaitu untuk semua. Kalau mau digunakan kita musyawarahkan, kalau mau dikelola kita gotong royongkan.”

“Nah sekarang dengan peta-peta yang baru, culture of sharing ini hilang diganti oleh budaya memiliki. Jika sudah dipetakan dan dapat izin itu sudah jadi hak milik dan kuasa pemegang izin, bahkan dengan masyarakat setempat pun tak mau berbagi. Nah inilah yang kami bicarakan dalam Konferensi Global Pemetaan Partisipatif Wilayah Adat yang berlangsung di Samosir Sumatera-Utara pada tanggal 25-28 Agustus 2013 lalu,” papar Abdon Nababan lebih jauh saat konferensi pers tanggal 5 September di Tartine Restaurant, di bilangan Senayan, Jakarta.

Di samping Abdon Nababan hadir sebagai pembicara Kasmita Widodo, Koordinator Nasional Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) Sumaryono, Badan Informasi Geospasila (BIG) dengan moderator Wimar Witoelar. Hadir juga warga dari Komunitas Pandumaan-Sipituhuta, yaitu Arnold Lumban Batu dan Ronald Lumban Gaol.

“Saya kira tidak berlebihan jika saya katakan, apa yang kita amati dalam hutan masyarakat adat akan lebih besar pengaruhnya dari Pemilu 2014. Karena kalau pemilu itu masih punya keabsahan, dia harus ikut kehendak masyarakat dan seperti di Eropah, pemilu akhirnya akan dimenangkan oleh calon yang mengerti isu-isu,” kata Wimar Witoelar saat membuka sesi diskusi.

Wimar juga mengingatkan agar media yang hadir  ikut mengkaji isu-isu masyarakat yang muncul dalam koferensi pers ini dan apakah itu merupakan isu inti masyarakat Indonesia.

Kasmita Widodo dalam paparannya mengatakan ada berbagai pengalaman mengenai metodologi partisipasi masyarakat. Namun tidak berbeda dalam metodologi peta sebagai alat advokasi. Dengan adanya peta, semakin jelas siapa yang masuk wilayah siapa, sehingga terkelola dengan baik. Sejarah pemetaan partisipatif di Indonesia lahir dari konflik yang luar biasa seperti Komunitas Panduamaan-Sipituhuta. Pembuatan peta jangan hanya peta fisik sebagai alat tehnis, harus disertakan hak-hak budaya dan sosial di dalamnya.

Tanpa dukungan pemerintah dalam hal ini Kementerian Kehutanan, target 33 juta hektar wilayah masyarakat adat tidak bisa terwujud. Peta-peta partisipatif wilayah adat bisa menjadi referensi jika Indonesia mau keluar dari krisis ini. JKPP melayani pembuatan peta partisipatif wilayah masyarakat adat, dengan tujuan agar tata kelola kekayaan alam ini berjalan dengan baik. Idealnya ada dorongan agar JKPP, BIG, AMAN bisa terus bekerjasama,” kata  Koordinator Nasional JKPP itu.

Sumaryono dalam paparannya mengutip keinginan Presiden SBY,” Saya ingin satu peta saja sebagai satu-satunya referensi nasional”.

Sumaryono juga memperlihatkan betapa tumpang tindihnya peta wilayah dari berbagai pemangku kekuasana seperti Kehutanan, Pertambangan, BPN dan sebagainya. Diharapakan One Map Policy bisa menjadi referensi tunggal agar informasi geospasial dapat dengan mudah dan benar dimanfaatkan masyarakat secara luas. Dalam konferensi  ini warga dari Komunitas adat Pandumaan-Sipituhuta, Ronald Lumban Gaol diberi waktu untuk memberi kesaksiannya.

Pada akhir konferesi pers, Abdon Nababan menghimbau agar media mengisi isu masyarakat adat sebagai gagasan untuk memperkuat negara dan bukan subversif. Sebab Tata Guna Hutan Kesepakatan itu warisan Belanda, sambil menyongsong disahkannya RUU PPHMA.***JLG

Tinggalkan Balasan