JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Masyarakat adat tidak punya akses terhadap informasi, dan aksesnya kecil sekali terhadap informasi. Bisa jadi karena jaraknya yang jauh dari infrastruktur atau bisa juga karena kebijakan negara tidak mengkhususkan untuk masyarakat adat. Demikian disampaikan Staf Khusus Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Rukka Sombolinggi, dalam seminar bertema “Representasi Perempuan Adat di Media Massa Indonesia” di Jakarta, Selasa (2/7).
Banyak pemerintah yang menolak perlunya perlakuan dan tindakan-tindakan khusus untuk memastikan mereka punya akses terhadap pembangunan, katanya menambahkan.
Di seluruh dunia ada sekitar 350 juta masyarakat adat dan 70 persen di antaranya berada di Asia. Masyarakat adat menempati urutan yang paling rendah, rentan, dan secara sosial terpinggirkan. Pada tahun 2007, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengadopsi hak-hak masyarakat adat yang menegaskan hak-hak masyarakat adat atas akses informasi dan media.
Disebutkan bahwa masyarakat adat memiliki hak untuk membentuk media sendiri dalam bahasa-bahasa sendiri, atau yang dipahami, dan memiliki akses terhadap semua bentuk media massa mainstream. Meski masyarakat adat berhak untuk memiliki media sendiri, tetap saja masyarakat adat masih punya akses terhadap media umum tanpa diskriminasi.
Negara harus mengambil tindakan-tindakan efektif untuk memastikan bahwa media itu sepatutnya mencerminkan keragaman budaya masyarakat adat dan juga memastikan bahwa masyarakat adat punya kebebasan untuk berekspresi dan mendorong media yang dimiliki Pemerintah atau swasta untuk mempunyai sebuah sistem yang mencerimkan keanekaragaman situasi masyarakat.
Dalam hal itulah Sombolinggi mengritik sebuah media yang menampilkan acara tentang masyarakat adat dengan label “primitive”, yang menurut dia melanggar norma-norma hak azasi masyarakat adat. Selain itu, Berita dan isu masyarakat adat sangat kurang dan yang dipotret dari masyarakat adat adalah sisi orang primitif-nya dan konflik-nya, tanpa melihat akar permasalahan.
“Orang Polahi dilihat sebagai setengah binatang, orang Togutil sebagai orang terasing,” lanjut Rukka Sombolinggi.
Norma-norma hak azasi masyarakat adat tidak dihargai dan tidak dihormati karena informasi dikontrol pihak-pihak elite supaya tidak sampai ke masyarakat adat. Informasi di masyarakat adat pun terbatas untuk bisa sampai ke publik. Ada sebuah kekuatan yang memastikan bahwa informasi yang disampaikan adalah informasi yang hanya diingikan media. Informasi yang diterima saat ini dibatasi dan ditentukan pihak lain, bukan oleh masyarakat adat sendiri.
Norma-norma hak azasi masyarakat adat hanya dapat ditegakkan melalui penguatan komunikasi dan informasi. Informasi dan komunikasi dipakai untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat adat, penguatan secara ekonomi, dan budaya, katanya
Beberapa masyarakat adat di beberapa belahan dunia memiliki inisiatif komunikasi untuk menguatkan masyarakat adat. Dicontohkan Rukka Sombolinggi, masyarakat adat di Thailand yang mempunyai museum virtual. Di Kanada, masyarakat adat mempunyai satelit dan menggunakan satelit sebagai sarana diagnosa kesehatan jarak jauh, karena sulitnya akses kesehatan.
Masyarakat Aborigin di Austalia juga memiliki semacam production house untuk komunikasi dan informasi masyarakat adat dengan memproduksi musik, suvenir, kaos, gantungan kunci dan sebagainya. Masyarakat Aborigin memiliki stasiun TV dan radio yang bisa diakses online
Sumber: http://m.satuharapan.com/index.php?id=148&tx_ttnews[tt_news]=2319