Menteri Lingkungan Hidup Balthasar Kambuaya berjanji akan secepatnya berkoordinasi dengan koleganya di kabinet untuk menindaklanjuti putusan Mahkamah Konsitusi (MK) terkait pengakuan hutan adat. “Masalah di lapangan sudah serius,” kata Balthasar ketika menerima pengurus Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Senin (15/7) di Jakarta.
Beberapa waktu lalu, MK mengabulkan sebagian uji materi Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Dalam putusannya, hutan adat yang sebelumnya menjadi bagian dari hutan negara, harus dimaknai sebagai hutan hak. Jadi, hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.
Putusan itu menimbulkan eforia karena selama 14 tahun wilayah adat diserobot atau dijadikan hutan produksi. Alhasil, di sejumlah daerah kini masyarakat menancapkan plang putusan MK itu di lahan perkebunan. Misalnya, masyarakat adat Pandumaan – Sipituhuta di Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara.
Mereka memasang plang bertuliskan Pengumuman Hutan Adat Pandumaan-Sipituhuta Bukan Lagi Hutan Negara Sesuai Keputusan Mahkamah Konstitusi. Tujuh plang itu ditancapkan di lahan konsesi PT Toba Pulp Lestari. Jika tidak ditangani secepatnya, saling klaim itu menjadi bibit konflik horisontal.
Balthasar berharap secepatnya dilakukan pembicaraan soal tapal batas wilayah masyarakat hukum adat. Dia akan berkoordinasi dengan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat dan Menteri Kehutanan. Dia mengakui sangat peduli dengan isu ini karena dirinya adalah anak kepala adat di salah satu suku di Papua.
Anggota Komnas HAM, Sandra Moniaga mengusulkan sejumlah instansi bertemu dan membuat pedoman bersama. Jangan masing-masing membuat program serupa, misalnya inventarisasi masyarakat adat. “Bentuk satuan tugas untuk mempercepat penyelesaian kasus ini,” katanya.
Sekretaris Jenderal AMAN Abdon Nababan memaklumi aksi tancap patok yang dilakukan masyarakat adat. “Saya minta mereka untuk tidak merusak patok atau plang nama perusahaan perkebunan yang telah mendapat izin dari pemerintah,” katanya. Dia juga mewanti-wanti para sahabatnya di daerah untuk tidak melakukan kekerasan.
Abdon mengakui pihaknya sudah mensosialisasikan putusan MK itu kepada sejumlah perusahaan. Ada yang menerima, namun ada pula yang menolak. Bagi perusahaan yang taat aturan, kata dia, putusan MK itu mendorong kebijakan yang pasti.
Mereka rela lahan konsesinya berkurang dan diserahkan ke masyarakat adat asal tidak ada lagi klaim dan konflik. Selama ini mereka membayar uang untuk jasa keamanan ke polisi atau oknum TNI. Belum lagi memberi dana kepada oknum pejabat di daerah. Ekonomi biaya tinggi ini, kata Abdon, tidak disenangi pengusaha yang taat dan jujur.
Sebaliknya dengan pengusaha nakal yang cuma memburu rente. Mereka hidup dari ketidakjelasan aturan di sektor kehutanan. Menurut Abdon, sekitar 80 persen status lahan di Indonesia tidak jelas kepemilikan atau izinnya banyak yang tumpang-tindih.
Abdon meminta pemerintah secepatnya mengeluarkan instruksi Presiden untuk menindaklanjuti putusan MK. “Harus ambil kepemimpinan secepatnya agar konflik tidak terjadi di daerah.” Aturan itu juga penting, ujarnya, agar tidak ada orang yang mengaku-ngaku masyarakat adat dan mengklaim suatu lahan.
UNTUNG WIDYANTO
Sumber: http://www.tempo.co/read/news/2013/07/15/061496684