Jakarta 30 Mei 2013. Kementerian Lingkungan Hidup menyelenggarakan workshop konsolidasi sebagai tindak lanjut atas putusan MK no 35 tahun 2012 dengan masyarakat adat di Jakarta Convention Centre. Tampil sebagai pembicara Ir. Abdon Nababan, Sekjen AMAN, Maria Sumardjono, guru besar Fak Hukum UGM, Prof DR Ahmad Sodiki (MK), Chairuddin Hasyim Asisten Deputi Komunikasi dan Pemberdayaan Masyarakat, KLH dengan moderator Myrna Safitri (Executive Director of the Epistema Institute) .
Dalam sambutannya Jonny Purba Asdep 3/ VI KLH mengatakan, Undang-Undang 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pola lingkungan hidup memberikan ruang kesempatan yang besar, bagaimana kita mengapresiasi, merekognisi keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokalnya dan hak-haknya yang terkait dengan perlindungan dan pola lingkungan hidup.
Peluang masyarakat adat semakin besar ketika Protokol Nagoya disahkan melalui Undang-Undang XI tahun 2013. Di dalamnya masyarakat adat sebagai pengampu pengetahuan tradisional yang terkait dengan sumber daya genetik diberikan pengakuan hak untuk mendapatkan pembagian keuntungan dari pemanfaatan pengetahuan tradisional yang terkait dengan sumber daya genetik.
Dan lebih baru lagi adalah keputusan Mahkamah Konstitusi atas Judicial Review yang dimohonkan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) serta beberapa perutusan masyarakat hukum adat. Dalam amar putusan MK tersebut kita tahu bahwa hutan adat bukan hutan negara.
Selain untuk mensosialisasikan kebijakan yang terkait dengan upaya perlindungan hak-hak masyarakat hukum adat, ini juga akan menjadi masukan perumusan kebijakan. Kita akan buatkan peraturan pemerintah, ada pedoman terkait dengan tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat,” papar Jonny Purba dalam sambutannya.
Chairuddin Hasyim mengatakan bahwa 29 penerima Kalpataru itu ada pada kelompok masyarakat hukum adat. Bukan hanya memberi penghargaan pada apa yang sudah mereka lakukan, tetapi mungkin bisa dikembangkan di daerah lain atas usaha-usaha kelompok Kalpataru terhadap kelompok masyarakat hukum adat. Kalau tidak, sudah ada contoh, bahwa ada kelompok masyarakat hukum adat yang mau mengembalikan Kalpatarunya, karena sudah terjadi perubahan pada anak cucunya. Mereka tidak lagi menghargai keberadaan kearifan lingkungan. Kalau dilihat dari aspek alih fungsi lahan demi bisnisnya, kearifan ini akan hilang.
Prof DR Ahmad Sodiki mengatakan dalam pasal 1 angka 6 lalu itu, masyarakat hukum adat itu kedudukannya jadi tidak jelas, karena dalam satu area tapi ada dua subyek. Ada subyek negara dan masyarakat hukum adat, padahal itu tidak mungkin. “Oleh sebab itu harus tegas mana yang subyeknya negara sebagai publik, mana masyarakatat hukum adat yang kepemilikannya masyarakat kolektif, itu baru jelas,” papar Ahmad Sodiki.
Menurut Abdon Nababan, pada saat undang-undang PPLH disahkan, adalah masa yang relatif masih sulit bagi masyarakat adat. Tahun 2009 saat undang-undang itu disahkan Nababan cukup puas. Namun Sekjen AMAN itu menyadari bahwa Undang-Undang PPLH belum menjadi sesuatu yang cukup kuat, tetapi pintu bagi pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat mulai terbuka lewat undang-undang tersebut. Khususnya kearifan lokal dalam pengendalian dan pengelolaan lingkungan hidup.
Hal itu menjadi dasar penandatanganan MoU AMAN bersama KLH, bekerjasama untuk menginventarisasi , mengidentifikasi dan memetakan wilayah-wilayah kearifan tradisional, itulah yang sekarang kita sebut wilayah adat. Sekarang yang tersisa hanyalah puing-puing kearifan masyarakat adat, harus ada rekonsiliasi untuk merekatkan ulang. “Lalu siapa yang harus minta maaf pada korban-korban ketidak adilan yang diakibatkan oleh undang-undang ini?. Harus ada restorasi pemulihan. Kalau di Afrika Selatan itu ada komisi Restitusi, jadi tak perlu menunggu dan ini tidak bisa selesai hanya urusan MK saja. Bagaimana membayar kesalahan ini, tidak hanya sebagai tanda minta maaf saja,” papar Abdon Nababan.
Maria Sumardjono menjawab bahwa pertanyaan Abdon Nababan itu adalah pertanyaan yang paling esensial dari apa yang kita pelajari dari keputusan MK. Putusan atau undang-undang tidak berlaku surut. Artinya apapun yang sudah ada kita hormati, sampai berakhir kecuali pada proses pengalihan itu ada pidana.
“Lalu Abdon mengelitik kita, keadaan kita itu normal atau nggak?. Mungkin orang tidak normal menganggap normal, mungkin orang normal menganggap ini tidak normal dalam arti kita ini dalam tahap transitional justice (keadaan masa transisi). Karena kita dalam masa transisi, kita usulkan satu lembaga independen untuk menyelesaiakan, seperti masa lalu, pemaksaan untuk diselesaiakan oleh suatu badan. Apa yang diungkapkan oleh Abdon itu adalah pengalaman dari Afrika Selatan dengan politik Apartheidnya, mengusulkan restitusi. Bisa berupa pengembalian tanah, bisa berupa uang yang diputuskan oleh LCC (Land Claims Court)”.****