Surat AMAN Kepada kompas.com: Keberatan atas artikel tentang Suku Polahi di Gorontalo

Surat AMAN Kepada kompas.com: Keberatan atas artikel tentang Suku Polahi di Gorontalo

Jakarta, 7 Mei 2012

Nomor : 411/SEKJEN/PB AMAN/V/2013
Perihal : Surat keberatan atas artikel tentang Suku Polahi di Gorontalo

Kepada Yth.
PT. Kompas Cyber Media
Gedung Kompas Gramedia, Unit II Lt. 5
Jl. Palmerah Selatan No. 22 – 28
Telp. 62-21 5350377/5350388
Fax. 62-21 5360678
Email : redaksikcm@kompas.co.id;
redaksikcm@kompas.com

Dengan hormat,

Kami dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), melalui surat ini, menyampaikan KEBERATAN atas artikel tentang Komunitas Adat Polahi yang diterbitkan pada Hari Senin, tanggal 6 Mei 2013, pukul 09.55 Wib, di kolom Regional Kompas.Com

Artikel yang dimuat dalam Kolom Regional Kompas.com ini sebelumnya berjudul “Suku Polahi di Gorontalo Ini, Setengah Manusia Setengah Hewan” kemudian diganti menjadi “Warga Polahi, Terpinggirkan di Hutan Boliyohuto.” http://regional.kompas.com/read/2013/05/06/09551746/Suku.Polahi..Setengah.Manusia.Setengah.Hewan

Namun demikian, bersumber dari Kompas.Com, Tribun-Timur.com juga menaikkan berita dengan judul dan content yang sama – “Suku Polahi di Gorontalo Ini, Setengah Manusia Setengah Hewan” Senin, 6 Mei 2013, pukul 11.23 Wita. http://makassar.tribunnews.com/2013/05/06/suku-polahi-di-gorontalo-ini-setengah-manusia-setengah-hewan

Berdasarkan analisa kami terhadap judul dan content dari artikel tersebut, kami menemukan bahwa :
1. Artikel tersebut sarat diskriminasi SARA terhadap Masyarakat Adat, dengan menyematkan predikat Suku Polahi sebagai setengah manusia setengah hewan; primitif dan bodoh. Dalam Rekomendasi Umum CERD (Committee on Elimination of Racial Discrimination) No. 23 tentang Masyarakat Adat, disebutkan : The Committee calls on particular upon states parties to : a). Recognize and respect indigenous distinct culture, history, language and way of life as an enrichment of the State’s cultural identity and to promote its preservation ; b). Ensure that member of indigenous peoples are free and equal in dignity and rights and free from any discrimination, in particular that based on indigenous origin.

2. Artikel tersebut menyebarkan kesesatan berpikir kepada masyarakat luas mengenai Masyarakat Adat secara umum dan khususnya Komunitas Suku Polahi. Dalam hal ini, artikel tentang Suku Polahi tersebut melanggar UU No. 40 Tahun 1999, tentang PERS – Pasal 6 tentang peranan Pers, ayat : b) Menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan Hak Asasi Manusia, serta menghormati kebhinekaan; c) Mengembangkanpendapat u mum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar.

3. Artikel tersebut juga melanggar Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (United Nations’ Declaration on the Rights of Indigenous Peoples). Deklarasi ini dalam alinea kedua, keempat dan kelima dari Pembukaan, menyebutkan : Menegaskan bahwa masyarakat adat sejajar dengan semua masyarakat lainnya, sementara tetap mengakui hak semua orang untuk berbeda, untuk menganggap dirinya berbeda, dan untuk dihormati karena perbedaan tersebut; Menegaskan lebih jauh bahwa semua doktrin, kebijakan dan praktek-praktek yang didasarkan pada atau menyokong keunggulan kelompok  masyarakat atau individu-individu atas dasar asal-usul kebangsaan atau ras, agama, etnis atau perbedaan budaya adalah rasis, secara ilmiah salah, secara hukum tidak sah, secara moral terkutuk, dan secara sosial tidak adil; Menegaskan kembali bahwa masyarakat adat, dalam pelaksanaan hak-hak mereka, harus bebas dari segala bentuk diskriminasi apapun; Selanjutnya, pasal 2 dalam Deklarasi ini menyebutkan : Masyarakat adat dan warga-warganya bebas dan sederajat dengan semua kelompok-kelompok masyarakat dan warga-warga lainnya, dan mempunyai hak untuk bebas dari segala bentuk diskriminasi dalam pelaksanaan hak-hak mereka, khususnya yang didasarkan atas asal-usul atau identitas mereka.

AMAN adalah Organisasi Masyarakat (Ormas) yang beranggotakan 2.243 Komunitas Adat yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. AMAN dibentuk pada tanggal 17 Maret 1999 dalam Kongres Masyarakat Adat Nusantara di Hotel Indonesia. Tujuan pembentukan AMAN adalah untuk  memperjuangkan pengakuan dan penegakan Hak-Hak Masyarakat Adat di Indonesia. Dalam melaksanakan tujuannya, AMAN bekerja melalui Kantor Pengurus Besar (PB) AMAN di Jakarta, 20 Pengurus Wilayah (PW) AMAN setingkat Propinsi dan 86 Pengurus Daerah (PD) AMAN setingkat Kabupaten.

Dalam UUD 1945, Masyarakat Adat diakui keberadaannya sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang memiliki hak, seperti: (1) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang (Amandemen UUD 45 pasal 18B), (2) Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif

(pasal 28I ayat 2 UUD 1945), (3) Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban (pasal 28I ayat 3 UUD 1945). Pengakuan dan perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat ini juga tercantum dalam beberapa Undang-Undang, misalnya Undang-Undang No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta Undang-Undang no. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Saat ini juga, DPR-RI sedang membahas RUU tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat (RUU PPHMA).

Selain artikel tentang Suku Polahi ini, pada tanggal 22 Januari 2013, pukul 11.51 Wib, Kompas.com juga memuat artikel tentang Suku Boti di Timur Tengah Selatan, dengan menyebutkan suku tersebut sebagai primitif. http://regional.kompas.com/read/2013/01/22/11512553/Suku.Boti.Harus.Dipertahankan

Kami yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), sungguh menyesalkan dan merasa prihatin yang amat dalam atas dimuatnya artikel yang sangat mendiskreditkan, menghina, melecehkan martabat dan melanggar hak-hak Masyarakat Adat untuk bebas dari segala bentuk diskriminasi apapun.

Kami percaya, bahwa media mempunyai peran yang efektif dalam mengembangkan kehidupan berbangsa dan bernegara, mengembangkan toleransi dan penghormatan atas perbedaan budaya, serta memperkuat sikap kritis terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia dan ketidakadilan. Akan sangat disayangkan jika media justru berperan sebaliknya.

Oleh sebab itu, kami mendesak kepada PT. Kompas Cyber Media, untuk :
1. Menyatakan permohonan maaf kepada komunitas adat Polahi dan komunitas-komunitas Masyarakat Adat yang telah menjadi korban pemberitaan yang tidak mencerminkan penghargaan dan penghormatan atas keragaman budaya bangsa yang menjadi pondasi bangsa Indonesia ini.

2. Permohonan maaf hendaknya disampaikan melalui iklan khusus selama 3 hari berturut-turut di kompas.com dan media cetak Kompas Media lainnya.

3. Menghentikan penggunaan istilah-istilah yang mendiskreditkan, menghina, melecehkan martabat dan menjurus pada diskriminasi rasial dalam semua pemberitaan Kompas Media.

4. Selanjutnya, kami merekomendasikan agar Kompas Media membuat Kebijakan tentang Standar istilah-istilah yang potensi berdampak luas pada publik (referensi dapat mengacu pada panduan sebagaimana yang telah dilakukan oleh The Guardian dan The Observer yang menegaskan larangan penyebutan “primitif” dan sejenisnya terhadap masyarakat adat).

Demikian keberatan dan desakan ini kami sampaikan. Atas perhatian dan respon positif dari PT. Kompas Cyber Media, kami mengucapkan terimakasih.

Hormat Kami,

Abdon Nababan
Sekretaris Jendral AMAN

Tembusan :

  • Dewan Pers
  • Dewan Nasional AMAN
  • Arsip

 

[dm]48[/dm]

[dm]47[/dm]

2 Komentar


  1. Betuulll, sekali, AMAN sy sepakat… sebagai guru Sosiologi dan antropologi budaya, tentu saya menyesalkan per”istilahan” yang kurang manusiawi untuk suku-suku terisolir di pedalaman Indonesia.. seharusnya media menampar pemerintah kita dengan “pembangunan apa yang telah menembus peradaban mereka”… sampai saat ini wawasan dan pengetahuan para pejabat Indonesia hanya rusuh di kursi politik dan korupsi untuk kepentingan perut mereka… Padahal mereka (suku-suku di pedalaman itu) juga punya hak yg sama sebagai warga negara Indonesia yang harus pula turut menikmati modernisasi dan kekayaan Indonesia….

Tinggalkan Balasan