Jakarta – Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan uji materi (judicial review) terhadap UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang diajukan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Kamis (16/5).
Walau tidak seluruh permohonannya dikabulkan, AMAN menyambut gembira keputusan yang dibacakan di Ruang Sidang Pleno Gedung Mahkamah Konstitusi tersebut. Keputusan ini menandakan Masyarakat Adat di Nusantara merupakan subjek hukum dan hutan adat bukanlah hutan negara. Dengan demkian masyarakat adat telah mendapatkan kembali hak atas hutan adat yang telah dirampas oleh negara melalui UU Kehutanan.
“AMAN mengajukan judicial review terhadap UU Kehutanan pada Maret 2012 dan rangkaian persidangan selesai pada Juni. Penantian ini akhirnya berbuah baik. Sekitar 40 juta masyarakat adat kini berhak atas wilayah hutan adatnya karena negara tidak akan bisa lagi mengusir mereka dari hutan yang menghidupi kami dari generasi ke generasi,” kata Sekretaris-Jenderal AMAN Abdon Nababan.
AMAN menilai UU Kehutanan ini memang sengaja dibuat untuk mengambil-alih hutan adat dan menyerahkannya kepada para pemilik modal melalui berbagai skema perizinan. Praktik perampasan berkedok legal ini berlangsung di seluruh wilayah Republik Indonesia.
Eksploitasi hutan adat ini telah terbukti mengancam keberlangsungan hidup masyarakat adat dan merusak lingkungan hidup. Data Kementerian Kehutanan dan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, ada 31.957 desa yang berinteraksi dengan hutan dan 71,06% di antaranya menggantungkan hidup pada sumber daya hutan.
UU Kehutanan bukanlah satu-satunya alat negara untuk merebut hak masyarakat adat atas wilayah hutan adatnya. Bulan lalu Dewan Perwakilan Rakyat diam-diam menyusun Rancangan Undang-Undang tentang Pemberantasan Pengrusakan Hutan (RUU P2H) yang potensial mengkriminalisasi masyarakat adat yang menggantungkan hidupnya pada hasil hutan.
“Berpegang pada putusan Mahkamah Konstitusi hari ini, AMAN akan terus berjuang agar masyarakat adat mendapatkan hak penuh atas hutan adat yang telah menghidupi kami dari generasi ke generasi,” kata Abdon Nababan.
Permalink
Permalink
Pertanyaan saya adalah:
1. Apakah masyarakat adat yang termaksud dalam artikel Anda adalah masyarakat sekitar hutan atau hanya “masyarakat adat” saja?
2. Bagaimana sikap masyarakat adat dengan sistem sosial masyarakat yang sudah terbentuk terbentur dengan adanya UU tersebut?
Pencerabutan hak dan kriminalisasi masyarakat sekitar hutan memang merupakan hal yang memalukan (bila hal itu terjadi). Uang —> Masyarakat—> Pemodal —> Pemerintah —> “Pihak yang berkepentingan” selalu menjadi lingkaran setan dalam dunia Kehutanan Indonesia.
Harapan kita sebagai pemerhati, kehutanan Indonesia berkembang ke arah yang lebih baik dengan adanya Judicial review dari UU tersebut. Bayangkan saja bahwa setiap orang yang mendengar kata “kehutanan Indonesia” akan selalu berasumsi tentang : a. Kerusakan hutan; b. Illegal Logging; c. Pemanasan Global; d. Uang berlimpah dan korupsi; e. LSM (Entah baik dan buruk).