Pernyataan Sikap AMAN Pada RAKERNAS III AMAN

Pernyataan Sikap AMAN Pada RAKERNAS III AMAN

logo_aman

Adil Ka Talino, Bacura min Ka’ Saruga, Basengat Ka’ Jubata

Pada tanggal 19-24 Februari 2013, telah dilakukan Rapat Kerja Nasional Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (RAKERNAS AMAN), yang dihadiri oleh 300 peserta yang terdiri dari unsur Pengurus Besar, 20 Pengurus Wilayah, dan 83 Pengurus Daerah.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Badan Pengurus Harian AMAN Kalimantan Tengah dan Pengurus Daerah AMAN Gunung Mas, dan secara khusus kepada Pemerintah Kabupaten Gunung Mas yang telah membantu kelancaran proses RAKERNAS III AMAN. Kami juga mengucapkan terimakasih kepada Masyarakat Adat di Kalimantan Tengah, khususnya Masyarakat Adat Tumbang Malahoi, Kabupaten Gunung Mas yang telah menyambut seluruh peserta dan menyediakan wilayah adatnya sebagai tempat berlangsungnya RAKERNAS III AMAN.

Kami mencatat bahwa telah ada beberapa perubahan kebijakan dan hukum yang memperkuat posisi dan peran masyarakat adat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Diantaranya adalah Undang-Undang (UU) No. 27 tahun 2007 tentang Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yang memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat adat secara tegas dan UU No. 32 tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup. Selain itu Badan Legislasi (Baleg) DPR-RI sedang membahas RUU tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat. Mahkamah Konstitusi juga telah melaksanakan persidangan untuk memeriksa
permohonan perubahan UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang diajukkan oleh masyarakat adat dan sedang menunggu putusannya. Di tingkat daerah, perkembangan positif ditunjukkan oleh Kabupaten Malinau dengan lahirnya Peraturan Daerah (Perda) No. 10 tahun 2012 tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat di Kabupaten Malinau.

Kerjasama antara AMAN dengan beberapa lembaga negara dapat pula dipahami sebagai bagian dari perkembangan positif tersebut. Kerjasama AMAN dengan Komnas HAM misalnya berupaya mendorong reformasi

hukum untuk penegakan HAM masyarakat adat. Sementara salah satu sasaran dari kerjasama dengan Kementrian Lingkungan Hidup adalah untuk mengidentifikasi kearifan-kearifan local dalam pengelolaan lingkungan hidup. engan Badan Pertanahan Nasional, sasaran dari kerjasama yang dilakukan adalah untuk merancang prosedur hukum dalam rangka pendaftaran tanah dan wilayah adat serta penyelesaian konflik pertanahan. Kerjasama terbaru dilakukan dengan Unit Kerja Presiden untuk Pemantauan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4). Salah satu hasil dari kerja sama itu adalah UKP4 memfasilitasi penerimaan peta wilayah adat oleh Badan Informasi Geospasial/BIG pada November 2012 yang lalu. Kerjasama dengan UKP4 ini merupakan sebuah terobosan yang dilakukan untuk memasukkan peta wilayah adat dalam One Map Policy Indonesia, yang dalam jangka panjang bisa digunakan sebagai acuan pemerintah dalam kebijakan-kebijakan terkait kehutanan dan pertanahan di masa yang akan datang.

Meskipun demikian, Pemerintah Indonesia masih belum menunjukkan upaya yang kuat dalam perbaikan tata kehutanan di Indonesia. Implementasi dari STRANAS REDD+ masih sangat lemah karena tidak disertai dengan adanya kelembagaan yang kuat. Moratorium pemberian ijin konsesi di atas kawasan hutan juga sangat lemah karena hanya diatur melalui Instruksi Presiden No. 10 tahun 2011. Mengatasi persoalan yang sudah mengakar dalam tata kelola kehutanan seharusnya dilakukan dengan upaya yang lebih kuat, baik melalui peraturan yang lebih tinggi maupun kelembagaan yang lebih kuat dan permanen.

Selain itu, kebijakan pemerintah yang masih bertumpu pada eksploitasi sumber daya alam yang akan berdampak serius terhadap masyarakat adat. Master Plan Percepatan dan Perluasan Pengembangan Ekonomi Indonesia (MP3EI) adalah salah satu contohnya. Dengan MP3EI, pemerintah membagi-bagi wilayah Indonesia kedalam zona-zona ekonomi tanpa mempertimbangkan keberlangsungan ekosistem dan keberadaan masyarakat adat. MP3EI juga masih bertumpu pada investasi skala besar yang hanya akan menguntungkan segelintir pemilik modal.

Kami juga mencatat beberapa peristiwa yang kontra produktif dengan upaya-upaya yang telah dan sedang dilakukan. Di lapangan, tindakan-tindakan diskriminasi, intimidasi dan kekerasan terhadap masyarakat adat masih terus terjadi. Konflik yang masih berlangsung diantaranya adalah: kasus pertambangan yang melibatkan Masyarakat Adat Karonsie di Dongi, Luwu

Utara dengan PT. INCO/PT.Vale, Masyarakat Adat Cek Bocek Selesek Rensury di Sumbawa, NTB dengan PT. Newmont Nusa Tenggara (NNT), Masyarakat Adat Dayak Benuaq di Muara Tae, Kalimantan Timur dengan PT. Borneo Surya Mining Jaya, Kasus Perkebunan yang melibatkan Masyarakat Adat Pandumaan dan Sipituhuta dengan PT. Toba Pulp Lestari, konflik Masyarakat Adat di Musi Banyuasin melawan puluhan perusahaan perkebunan, kasus taman nasional antara Masyarakat Adat Pekasa di Sumbawa dengan Pemerintah Propinsi Nusa Tenggara Barat dan Pemerintah Kabupaten Sumbawa, dan kasus yang berkaitan dengan diskriminasi terhadap penganut kepercayaan/agama leluhur nusantara, misalnya Kaharingan di komunitas adat Dayak Meratus dan banyak komunitas Dayak di Kalimantan Tengah, serta kepercayaan Sunda Wiwitan yang dianut Masyarakat Adat Baduy.

Proses-proses pembuatan kebijakan public masih jauh dari harapan masyarakat termasuk masyarakat adat. Indonesia saat ini sedang bersiap-siap menyongsong pergantian penyelenggara negara yang akan terjadi pada tahun 2014. Sedang terjadi proses mobilisasi kekuatan politik dan ekonomi diantara para elit politik Indonesia. Masyarakat adat dihadapkan dengan situasi dimana tidak ada sistim politik yang memungkinkan masyarakat adat terlibatsecara penuh dalam pengambilan keputusan khususnya yang menyangkut keberadaan masyarakat adat.

Situasi demikian menunjukkan bahwa negara, c.q pemerintah bersikap mendua terhadap masyarakat adat. Di satu sisi, menunjukkan respons positif terhadap tuntutan-tuntutan masyarakat adat melalui beberapa kebijakan, tetapi di sisi lain pemerintah masih melanggengkan kekerasan dan diskriminasi terhadap masyarakat adat. Kami berpandangan bahwa situasi demikian hanya akan menghalangi usaha bersama untuk membangun bangsa yang berdaulat, mandiri dan bermartabat.

Oleh sebab itu, kami, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara :

  1. Mendesak Pemerintah Indonesia untuk segera mensahkan Rancangan Undang-Undang tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat (PPHMA), yang sesuai dengan keinginan MasyarakatAdat;
  2. Mendesak Pemerintah Indonesia untuk meninjau ulang kebijakan tentang MP3EI dan memperkuat ekonomi berbasis komunitas;
  3. Mendesak Mahkamah Konstitusi untuk mengeluarkan putusan terhadap permohonan Uji Materill atas UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang diajukan oleh AMAN;
  4. Mendesak Pemerintah untuk menghentikan diskriminasi terhadap penganut kepercayaan/agama leluhur nusantara dan segera membuat kebijakan yang mengakui penganut kepercayaan/agama leluhur nusantara;
  5. Mendesak Pemerintah Indonesia untuk segera menghentikan kekerasan dan membuat langkah-langkah yang kongkrit untuk menyelesaikan konflik-konflik terkait tanah, wilayah dan sumberdaya alam di wilayah-wilayah Masyarakat Adat;
  6. Mendesak pemerintah untuk mencabut Hak Guna Usaha (HGU), HPH dan ijin tambang di berbagai wilayah adat di nusantara yang melanggar hak dan terus melakukan kekerasan terhadap masyarakat adat, serta mendesak pemerintah untuk menindak atau menghukum perusahaan-perusahaan yang masih beroperasi di lapangan meskipun ijinnya sudah dicabut.
  7. Mendesak Presiden untuk membentuk kelembagaan yang kuat di bawah presiden yang mampu mengatasi sektoralisme dalam implementasi STRANAS REDD+;
  8. Mendesak Presiden untuk mempertahankan kebijakan tentang moratorium pemberian ijin konsesi di atas kawasan hutan dengan memperkuat instrument hokum tentang moratorium dan memperpanjang masaberlakunya. Selain itu, kami jugamendesak agar dilakukan evaluasi terhadap moratorium yang sudah berjalan.
  9. Mendesak Presiden untuk segera mengeluarkan Instruksi Presiden tentang inventarisasi dan administrasi wilayah-wilayah adat;
  10. Mendesak partai-partai politik untuk mendukung dan menginstruksikan kepada anggota DPR-RI untuk memastikan pengesahan RUU PPHMA pada pertengahan tahun 2013. Terkait dengan hal ini, kami telah bersepakat untuk tidak memilih partai politik yang tidak mendukung pengesahan RUU tersebut.
  11. Mendesak Presiden untuk mengeluarkan isntruksi kepada Polda, Korem dan Kodim dan Kodam untuk menghapuskan sigma separatisme OPM di Papua karena terus memicu kekerasan di Papua.
  12. Mendorong penyelesaian konflik internal antara komunitas adat dengan komunitas lainnya yang diakibatkan oleh misalnya exodus, atau persoalan lainnya yang menyebabkan terjadinya konflik horizontal yang diselesaikan berdasarkan kearifan masyarakat adat dan dapat melibatkan pemerintah.

Kami mendesak pemerintah Republik Indonesia untuk memperhatikan hal-hal tersebut di atas dan segera mengambil langkah-langkah positif untuk memastikan pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat. Kami siap bekerjasama untuk mewujudkan Indonesia yang berdaulat, mandiri dan bermartabat.

Tumbang Malahoi, Kabupaten Gunung Mas – Kalimantan Tengah
Tertanggal ; 23 Februari 2013

Tinggalkan Balasan