Korban PT TPL Minta Polisi Bertindak Adil

Perusahaan Rampas Tanaman Warga

[MEDAN] Masyarakat korban PT Toba Pulp Lestari (TPL) meminta aparat kepolisian memberikan keadilan dalam menangani sengketa lahan antara masyarakat dengan perusahaan pulp tersebut di Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan (Humbahas).

Soalnya, sengketa yang berujung pada pembakaran truk angkutan milik perusahaan itu membuat polisi menangkap 31 orang warga. Salah seorang yang ditahan adalah Pendeta Haposan Sinambela.

“Kami mengharapkan polisi melihat kasus ini secara jelas. Jangan sampai karena demi inventasi kemudian membuat polisi mengutamakan kepentingan perusahaan itu. Sebab, tanaman kemenyan milik masyarakat, diduga dirampas oleh perusahaan tersebut. Perusahaan itupun seharusnya dapat diproses secara prosedur hukum. Ada unsur pidana dalam perampasan lahan masyarakat,” ujar Ketua Tim Kuasa Hukum Masyarakat Korban PT TPL, Mangaliat Simarmata, Kamis (28/2).

Menurutnya, masyarakat sudah lama melakukan proses penanaman dan pemeliharaan tanaman kemenyan sebagai profesi mata pencaharian. Sumber pendapatan dari pertanian yang sudah digeluti selama puluhan tahun itu akhirnya hilang akibat adanya dugaan perampasan lahan oleh perusahaan itu.

Oleh karena itu, masyarakat berusaha memberikan perlawanan untuk mempertahan lahan yang dimilikinya tersebut. Masyarakat semakin gerah karena perusahaan itu diduga sengaja memancing kemarahan.

“Penangkapan terhadap 31 orang warga, yang 16 orang di antaranya diboyong ke Markas Polda Sumut, terindikasi kuat untuk menekan masyarakat untuk melepas lahan. Sengketa lahan ini dikhawatirkan akan menimbulkan masalah lebih besar lagi jika pemerintah kabupaten maupun provinsi, tidak segera menentukan masalah tapal batas lahan yang dikelola PT TPL dengan masyarakat. Bentrokan ini sudah sering terjadi. Aparat kepolisian pun menangkapi masyarakat di sana,” katanya.

Mangaliat mengharapkan, polisi dalam menangani kasus ini secara jelas. Sebab, perusahaan pulp itu sudah diduga semena – mena dalam merampas lahan milik masyarakat.

Perampasan lahan ini tidak terlepas dari dukungan pemerintah yang tidak pernah menentukan tapal batas itu. Padahal, bila dilihat dari persoalan hukum, meski jika terbukti memiliki hak dalam mengelola hutan kemenyan itu, PT TPL bisa diproses karena terindikasi melakukan pengrusakan lingkungan akibat pembabatan hutan di daerah penyangga Dana Toba.

“Kami belum pernah mendengar polisi menangani kasus dugaan akibat kerusakan lingkungan dari pengelolaan hutan oleh PT TPL. Padahal, bisa dilihat dampak dari pembabatan hutan kemenyan itu, utamanya di daerah penyangga Danau Toba. Kondisi hutan yang berubah gersang mengakibatkan bencana banjir dan longsor di masyarakat. Bencana itupun sudah sering terjadi. Kami mengharapkan, pemerintah pusat pun memperhatikan permasalahan ini. Investasi membuat masyarakat menjadi korban,” ungkapnya.

Pendeta Haposan Sinambela, salah seorang tersangka yang diboyong polisi dari Humbahas menyampaikan, dirinya sama sekali tidak terlibat dalam pembakaran truk angkutan perusahaan milik PT TPL.

Dia mengakui, saat kejadian itu ada di lokasi. Saat itu, Haposan mengimbau warga di sana agar tidak terpancing emosi, apalagi sampai merusak fasilitan milik perusahaan itu. Sayangnya, saran pendeta itu tidak didengar masyarakat. Bahkan, pendeta itupun dituduh aparat terlibat melakukan pembakaran.

“Saya sama sekali tidak terlibat dalam pembakaran tersebut. Namun, oleh pihak kepolisian saya ditangkap kemudian ditahan. Perusahaan itu juga melakukan perampasan kemenyan milik masyarakat di sana, mencapai 450 hektar. Wajar jika warga memberikan perlawanan untuk mempertahankan lahan miliknya. Semua yang ditangkapi itu adalah petani tulang punggung keluarga,” sebutnya. [155]

Sumber:  suarapembaruan.com

4 Komentar

Tinggalkan Balasan