Dialog RUU Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat

Dialog RUU Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat

“ MASYARAKAT ADAT MEMBUTUHKAN UNDANG – UNDANG “

Pengurus Wilayah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Maluku Utara melaksanakan dialog Rancangan Undang – Undang Perlindungan dan Pengakuan Hak – Hak Masyarakat Adat (RUU PPHMA) yang dilaksanakan pada tanggal 07 November 2012 . Kegiatan  ini  dipusatkan di Hotel Bukit Pelangi Ternate.

Narasumber yang hadir saat itu adalah DR. Husen Alting dan Muhammad Asikin, SH. MH, yang berasal dari akademisi, sedangkan dari narasumber dari Pemerintah tidak hadir, walaupun sudah di undang.

Dalam penyampaian Munadi Kilkoda yang mewakili AMAN Maluku Utara, mengatakan bahwa dialog ini dilakukan karena masih ada interprestasi yang berbeda dari pasal – pasal dalam RUU versi AMAN dan versi BALEG. “Kami melihat RUU versi BALEG masih jauh dari harapan dan cita masyarakat adat. Bahkan tidak menjadi solusi bagi masyarakat adat untuk berdaulat atas tanah, sumberdaya alam dan wilayah adatnya” Ungkap Munadi

Sedangkan dua orang narasumber baik DR. Husen Alting dan Muhammad Asikin, SH.MH yang menjadi narasumber dalam dialog RUU tersebut, mengatakan bahwa, dua RUU ini baik versi AMAN dan versi BALEG masih memiliki kelemahan – kelemahan yang harus diperbaiki. Namun mereka bersepakat bahwa, sudah saatnya masyarakat memiliki payung hukum tersendiri dalam undang – undang.

DR. Husen Alting mengatakan, pengakuan masyarakat adat itu sudah ada, hanya saja pemerintah sengaja melakukan pengabaian hal tersebut. Terkesan masyarakat adat diakui tergantung pada momentum – momentum tertentu, misalnya ketika masyarakat adat mengakui hutannya, dia dihargai dengan kalpataru, sedangkan kalau ada kepentingan Negara untuk eksploitasi SDA, maka pengakuan atas hak masyarakat adat itu hilang. Masyarakat adat diperhadapkan dengan tekanan dari luar, sehingga dia butuh Negara untuk memproteksi apa yang dihadapi.

Hal lain, pendefinisian dalam RUU juga masih berbeda. AMAN menggunakan istilah masyarakat adat sedangkan BALEG menggunakan istilah masyarakat hukum adat. Menurut beliau, masyarakat adat tidak terbatas pada norma hukum adatnya saja, tapi mereka akan dilihat dalam norma social, ekonomi, politik dan religi. Beliau mengusulkan untuk mengakurkan dua pendapat ini, maka RUU ini bisa mencantumkan saja definisi dari dua istilah yang berbeda tersebut, yang penting batang tubuh RUU ini diperkuat.

Selain itu, RUU yang dibuat ini harus bisa mengakomodasi keberagaman hukum – hukum adat yang ada di masyarakat adat yang berbeda – beda, terutama dalam system penguasan dan pemanfaatan tanah. RUU ini harus menjadi salah satu resolusi konflik dalam menyelesaikan pertentangan kepentingan masyarakat adat dengan Negara.

Narasumber yang lain, Muhammad Asikin, SH. MH, mengatakan selama ini konflik terjadi karena pemerintah lebih cenderung melindungi kepentingan pemodal, dibandingkan melindungi hak – hak masyarakat adat. Misalnya kasus suku Sawai dengan PT WBN, suku Pagu dengan NHM dan suku Tobelo Dalam dengan perusahan – perusahan tambang. Padahal sebelum Negara ini ada, masyarakat adat sudah ada jauh sebelum itu. Sehingga perlu ada perlindungan terhadap hak – hak mereka.

Masyarakat adat itu lebih mengenal dirinya sebagai masyarakat adat, bukan hukum adat. Hukum adat hanya dikenal dalam konteks perundang – udangan yang pernah ada. Saya menyarankan, RUU harus melihat apa yang menjadi keinginan masyarakat adat sebagai subjek hukum dalam undang – undang.

Hal lain juga, bahwa RUU ini lahir karena perintah UUD 1945, pasal 18b. Karena ada kekosongan hukum sehingga penting untuk ada UU saat ini dalam rangka melindungi hak – hak masyarakat adat yang selama ini menjadi korban kebijakan pembangunan.

Kegiatan ini dihadiri juga oleh kalangan Pemerintah, Partai Politik, Media Massa, LSM, Masyarakat Adat, Akademisi dan Organisasi Kepemudaan/Kemahasiswaan. (**)

Tinggalkan Balasan