LUWU TIMUR. KOMPAS.com – Keberadaan Suku Karunsi’e di Kampung Dongi, Kecamatan Nuha, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan tengah dihantui kecemasan akibat ancaman penggusuran yang tengah santer terdengar.
Senin (24/09/2012) sekitar pukul 12.30 wita siang, Werima (65) selaku Ketua Suku Karunsi’e, menerima Kompas.com di halaman rumahnya yang berdinding kayu papan di Kampung Dongi, Desa Magani.
Berbahasa Indonesia dengan dialek khas Suku Karunsi’e, wanita itu mengawali ceritanya dengan memperkenalkan nama Kampung Dongi yang diambil dari nama buah dengen yang banyak tumbuh liar di perkampungan tersebut.
Tanaman buah dengen yang bentuknya bulat, saat matang kulit pembungkus buah mekar berwarna kuning bagaikan kipas dengan rasa daging buah manis kecut, adalah tanaman khas yang hanya tumbuh di Kabupaten Luwu Timur.
Perkampungan Dongi, dihuni sekitar 60 kepala keluarga dengan jumlah keseluruhan 180 warga. Mereka menetap di atas lahan seluas puluhan hektar. Rata-rata mereka menghidupi diri dengan bekerja sebagai petani/kebun, dan selebihnya bekerja sebagi buruh kasar di perusahaan, serta pembantu rumah tangga.
Walaupun hidup di daerah yang tergolong kaya akan sumber daya alamnya, karena tanahnya mengandung biji besi yang diolah jadi nikel dan telah digarap oleh perusahaan pertambangan asing, PT. Inco Tbk yang kini berganti nama jadi PT. Vale, namun kehidupan mereka tergolong sulit.
Pasalnya, sejak puluhan tahun mereka berada dalam tekanan intimidasi dari berbagai pihak yang menginginkan mereka meninggalkan perkampungan tersebut. Bahkan, tanah yang diwariskan leluhur mereka, tidak leluasa lagi untuk digarap. Arela tersebut diklaim oleh pihak perusahaan sebagai wilayah yang masuk dalam area pertambangan yang tercantum dalam kontrak karya.
“Kami telah terbiasa dengan intimidasi yang dilakukan oleh berbagai pihak yang menginginkan agar kami semua pindah dari kampung leluhur kami. Bahkan telah puluhan tahun saya bersama warga terus perjuangkan tanah kami, walaupun sekarang polah intimidasi diubah dengan penawaran relokasi lahan melalui pemerintah setempat. Namun kami akan terus berjuang mempertahankan kampung leluhur kami,” ungkap Rima.
Selama ini berbagai macam cara digunakan agar warga merasa tidak nyaman tinggal di Kampung Dongi. Mulai dari pencabutan fasilitas listrik, air bersih, pembangunan sekolah, rumah ibadah dan fasilitas umum lainnya. Bahkan, selama ini mereka yang didata sebagai warga miskin, tidak pernah mendapat jatah raskin. Saat adanya program pembagian Bantuan Langsung Tunai (BLT), warga setempat juga tidak menikmatinya.
Untuk mendapat penerangan listrik, beberapa orang warga memberanikan diri ‘mencuri’ dengan cara ‘mencantol’ kabel listrik dari tiang jaringan listrik milik perusahaan setempat yang melintas di lokasi perkampungan.
Sementara, beberap kuburan kuno tempat pemakaman leluhur Suku Karunsi’e, telah lenyap digilas buldozer perusahaan tambang. Misalnya, kuburan umum yang saat ini telah dijadikan kompleks perumahan bujang (dormitory) milik perusahaan tambang. Sementara Tasimatoro uta, atau kuburan batu tempat disemayamkanya leluhur Suku Karunsi’e yang berada di lereng Gunung Pa’opisi, juga telah lenyap seiring masuknya perusahaan tambang nikel PT. Inco sekitar tahun 1976 silam.
Didampingi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, Waerima bersama masyarakat adat Karunsi’e terus melakukan perlawanan agar Kampung Dongi dapat terus dipertahankanya. Saat ini sebagian lahan perkampungan Dongi, telah berubah jadi fasilitas penunjang perusahaan, seperti lapangan golf, area test drive, perumahan, dan kantor.
Editor :
Glori K. Wadrianto
Sumber: http://regional.kompas.com/read/2012/09/25/13035664/Ratusan.Warga.Suku.Karunsie.Dihantui.Kecemasan