Penutupan Festival Ningkam Haumeni Disertai Sumpah Adat

Penutupan Festival Ningkam Haumeni Disertai Sumpah Adat
Mama Aleta sedang menyampaikan sambutan dalam perayaan Festival Ningkam Haumeni

Mollo-SI. Masyarakat Tiga Batu Tungku (Amanatun, Amanuban, Mollo), Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Provinsi NTT, menutup rangkaian kegiatan Festival Ningkam Haumeni, Kamis (27/7), dengan membacakan Deklarasi Kedaulatan Pangan dan Keselamatan Masyarakat Tiga Batu Tungu, ditambah dengan mengikat banu (sumpah adat).

Tampil tiga pemuda dari perwakilan tiga suku terbesar di Kabupaten TTS membacakan deklarasi dan ikat banu tersebut dengan lantang. Sementara ratusan peserta lainnya baik perempuan dan laki-laki dengan mengenakan tenun ikat khas masing-masing suku berdiri melingkarinya sambil berpegangan tangan menyaksikan dan mendengarkan dengan khidmat.

Deklarasi dan mengikat banu didasari hasil dari rangkaian saling belajar para suku selama festival tentang panganan lokal yang mereka miliki, belajar dalam mengembangkan tenun, yang segera menyadarkan mereka bahwa sesungguhnya alam mereka kaya akan sumber pangan, dan alam, dan tidak seharusnya mereka didera dalam kerawanan pangan.

“Masyarakat Tiga Batu Tungku adalah masyarakat pekerja keras, yang giat berkebun, mencari ikan. Para mama mengelola bibit-bibit dan mengatur panganannya di lopo-lopo. Tahun 2010-2011 hujan terus menerus dan iklim ekstrem membuat mereka gagal tanam dan panen. Jagung hibrida proyek pemerintah tidak bisa bertahan untu bisa disimpan selama setahun. Pengetahuan-pengetahuan untuk pertanian sangat kurang penguatannya dari pemerintah ke masyarakat. Pemerintah mengedepankan tambang, seolah masyarakat tidak punya pilihan lainnya,” ujar Matius Krivo dari Animasi NTT yang terbiasa membina para petani di TTS ketika melakukan sharing pengalaman tentang masalah kedaulatan pangan.

Hal yang sama juga dikemukakan oleh Maria Loretha, petani Adonara, Flores , pemenang Kehati Award 2012, yang khusus datang ke acara festival untuk membagi pengalamannya dalam mengembangkan panganan lokal khas NTT, seperti sorgum.

“Kebijakan pertanian yang berasinasi, jagung hibrida begitu lamanya hingga masyarakat di Timor dan NTT sampai melupakan adanya tanaman panganan lokal yang sebenarnya makanan yang tahan akan perubahan iklim dan cocok dengan tanah Timor yang kering. Jagung lokal, sorgun, rote, jelai, jewawut itu makanan kita. Pemerintah harus bisa membantu petani mengembangkan hal ini,” tandas Mama Tata panggilan akrab Maria Loretha.

Menyadari begitu kayanya alam Masyarakat Tiga Batu Tungku, mereka mulai menandai bibit-bibit tanaman panganan lokal yang dibawa Mama Tata dan tertarik belajar dan bertanya lebih jauh untuk mengembangkannya.

Rangkaian penting dari hasil berbagi pengalaman inilah yang membuat masyarakat tiga batu perlu merefleksikan diri dalam rangkaian ritual adat di hari terakhir festival untuk mengikat komitmen para suku dan komunitasnya untuk mematuhi kesepakatan yang hasilnya dituangkan dalam deklarasi dan sumpah adat.

“Sejauh ini kami berjuang sendirian, tapi kami akan mengubah cara hidup kami dengan cara yang baik. Kami tidak ingin mengalami kerawanan pangan lagi. Kami akan mempersiapkan diri dengan pengetahuan dan kerja keras yang merupakan karakter kami,” tandas Aleta Baun, perempuan pejuang Mollo yg juga pencetus Festival Ningkam Haumeni (*)

Berikut deklarasi sekaligus sumpah adat masyarakat tiga batu tungku :

Deklarasi kedaulatan pangan dan keselamatan masyarakat adat tiga batu tungku, Banam, Penam dan Onam, Kabupaten TTS, NTT

Kami masyarakat adat 3 batu tungku kaya akan pengetahuan dan kearifan yg kami miliki dihargai, diakui dan dilindungi dan dikembangkan

Kami akan jauh dari ketertinggalan dan dipenuhi kesejahteraan bila upaya kami selama ini didukung oleh semua pihak, terutama pemerintah dari pusat sampai daerah.

Kami memimpikan masyarakat adat yg berdaulat atas pangan dan terjamin keselamatan, dimana :

1. Wilayah adat kami diakui berdasarkan peta yang jelas akan kekayaan yang ada di dalamnya. Memastikan sumber air, batu, dan pohon kami dikenal, diakui dan dilindungi. Kami ingin peta ini menjadi dokumen sejarah yang tak lekang bergenerasi. Kami ingin peta ini menjadi bahan utama pengambilan kebijakan, perencanaan program pembangunan di
wilayah kami

2. Kami berhak menata wilayah kami dengan arif untuk memastikan produksi pertanian, perkebunan, peternakan dan hasil laut kami berkelanjutan. Menata wilayah untuk melindungi hutan kami dari pengrusakan, melindungi sumber air kami dari kekeringan, menciptakan permukiman yang layak dan aman

3. Aturan-aturan adat kami dihormati dan diakui oleh pemerintah. Kami tidak menebang pohon di mata air, di pinggir sungai dan di atas gunung. Nenek moyang kami memberi nama pada batu, pohon, kolam, sumber air untuk kami cintai dan lindungi

4. Kami berhak atas sarana, prasarana dan layanan dasar yang mendukung perkembangan kami. Jalan yang berkualitas dan menjangkau kami semua. Yang memudahkan kami memasarkan hasil bumi kami. Yang membuat kami lebih mampu memenuhi sendiri kebutuhan dasar kami

5. Lembaga adat dan budaya kami kuat, berkembang dan dihargai. Nilai-nilai yang terkandung di dalamnya diperkaya dan diwariskan pada generasi penerus. Kami biasa bermusyawarah di lopo untuk membuat keputusan. Kami memiliki rumah adat yang mempersatukan berbagai tarian, lagu dan alat musik yang membangkitkan semangat kebersaman. Kami memiliki tenunan yang kami banggakan, dan kami buat dengan apa yang kami miliki, dari kapas kami, diperindah tarum, mengkudu dan kunyit kami.

6. Kami berhak menentukan sendiri apa yang ingin kami makan dengan apa yang bisa kami hasilkan. Kami memiliki jagung, kelapa, gewang, lontar, ubi-ubian, pisang dan ribuan tanaman pangan yang memberikan kami tenaga dan gizi yang layak. Kami ingin semuanya lebih subur walau iklim menantang

7. Kami mengikat banu (sumpah adat) untuk memulihkan kembali kekayaan kami, dengan melindungi hewan-hewan yang ada di hutan dan isinya termasuk masu dan kekayaan alam lainnya. Kami juga bersumpah memulihkan pohon cendana yang menjadi identitas pulau Timor

Kami berjanji tahun depan akan bertemu untuk saling belajar dan menunjukkan keberhasilan-keberhasilan kami dalam melindungi dan mengelola pangan, tenun dan kekayaan alam lainnya

Kedaulatan pangan dan keselamatan manusia bukan impian kosong bagi kami. Kami memiliki kekuatan dan kemampuan. Kami tidak butuh raskin untuk mencukupi pangan kami. Kami tidak ingin pembangunan yang mengancam keselamatan kami. Kami bukan perusak. Maka jangan rusak kami dan alam kami atas nama pembangunan.

Kontak : Aleta Baun, HP. 0852 530 88 555
Sumber: Suryainside

Tinggalkan Balasan