Berkah Emas di Hutan Adat

Berkah Emas di Hutan Adat

INSIDEN itu masih segar di benak Yoyo Yohenda, 40 tahun. Meski sudah terjadi tiga tahun silam, girang serat alias Sekretaris Kasepuhan Cisitu masyarakat adat yang turun-temurun hidup di punggung Gunung Halimun, Kabupaten Lebak, Banten itu mengingatnya seperti baru kemarin.

Ketika itu, pada akhir April 2009, tiga penambang tradisional di Kampung Pasir Laban, Kecamatan Cibeber, Lebak, terjebak longsor di dalam lubang galian tambang yang mereka buat sendiri. Berjam-jam warga berusaha membebaskan mereka dari timbunan tanah. Satu penambang akhirnya tewas di lokasi.

Peristiwa itu membekas di benaknya. “Kami harus berusaha lebih keras memperbaiki sistem pengelolaan tambang,” kata Yoyo, ketika ditemui di Tobelo, Halmahera Utara, dua pekan lalu. Dia mewakili Kasepuhan Cisitu menjadi peserta Kongres Masyarakat Adat Nusantara di pulau kecil nun jauh di ujung Provinsi Maluku Utara itu.

Yoyo mengakui penambangan liar adalah pemandangan sehari-hari di kampungnya. Sejak awal 1990-an, ada sekitar 2.000 gurandil istilah lokal untuk para penambang liar yang beroperasi di wilayah adat Cisitu. Sebagian dari mereka adalah warga Kasepuhan sendiri.
Jauh di tengah lembah yang diselimuti pepohonan, tanah adat Kasepuhan Cisitu menyimpan harta karun: tambang emas Cikotok, yang dieksploitasi sejak 1940-an, ada di wilayah adat mereka. “Meski bertahun-tahun hidup di samping tambang emas, kami tetap miskin,” kata Yoyo sembari tersenyum kecil.

Yoyo adalah putra Abah Mochamad Okri, pemangku adat Kasepuhan Cisitu. Perawakannya tinggi besar dengan kulit kuning langsat. Ke mana pun pergi, dia selalu mengenakan setelan hitam-hitam dengan ikat kepala pakaian khas warga Kasepuhan. Kalau bicara, logat Sundanya kental sekali.

“Di sini tetua adat dipanggil olot,” katanya. Abah Okri adalah satu dari tiga olot di Kasepuhan Cisitu. Mereka membawahkan sekitar 1.600 keluarga yang hidup di Desa Kujang Sari dan Desa Situ Mulya, Kecamatan Cibeber. Sebagian besar hidup dari pertanian dan perkebunan. Fasilitas publik yang ada hanya gedung sekolah dasar dan puskesmas pembantu.

Awalnya, penambangan emas Cikotok sepenuhnya dikuasai PT Aneka Tambang. Mereka beroperasi di Blok Cikidang dan Blok Cirotan, selain di Cikotok sendiri. Pada 2006, perusahaan milik negara itu perlahan-lahan melepaskan kegiatan penambangan. Kandungannya dinilai sudah tak memadai untuk dikelola secara komersial.

Sejak itulah para penambang emas ilegal menyerbu kampung kecil Situ Mulya. Banyak orang datang dari luar Lebak untuk mencari sisa-sisa emas di Cikotok. Blok Cikidang jadi primadona karena kandungan emasnya masih lumayan. “Tidak akan habis sampai 50 tahun lagi,” kata Yoyo.

Maraknya penambangan tanpa izin membawa dampak buruk bagi hutan di sana. Upaya reklamasi bekas tambang pun jadi terhambat. Sampai tahun lalu, Aneka Tambang sebenarnya sudah menanam 83 ribu pohon rasamala dan puspa di atas eks tambang Cikidang. Tapi sebagian area reklamasi mereka lagi-lagi dibongkar gurandil.

Padahal penghijauan lokasi eks tambang adalah soal yang tak bisa ditawar: wilayah itu ada di dalam Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, yang merupakan bagian dari area hutan konservasi. Ketika itulah tetua adat Kasepuhan Cisitu melihat peluang. “Kami menawarkan kerja sama pengelolaan tambang,” kata Yoyo Yohenda. Setelah bertahun-tahun hanya jadi penonton, menyaksikan kekayaan alam mereka diangkut pergi, inilah saatnya masyarakat adat Cisitu mendapat bagian dari berkah Cikotok.

Warga adat Cisitu disebut-sebut sebagai keturunan Mbah Eyang Maharaja Ratu Haji, yang hidup di hutan sejak 1621 jauh sebelum kawasan itu ditetapkan sebagai taman nasional. Upacara panen raya tradisional yang disebut sebagai tradisi Seren Taun bahkan sudah ada sejak 1685.

Upacara Adat Serentaun di Kasepuhan Cisitu

Lembaga Keolotan, para tetua adat Kasepuhan, punya pepatah lama: leuweung hejo rakyat ngejo. Kurang lebih artinya: jika hutan lestari, rakyat sejahtera. Kesadaran akan pentingnya harmoni dengan alam sudah melekat dalam budaya dan keseharian mereka. “Misalnya, jika ada warga yang menebang satu pohon untuk satu keperluan, dia harus menanam kembali 10 pohon sebagai gantinya,” kata Yoyo.

Ketika para penambang liar merajalela, membongkar tanah untuk mencari emas, pemangku adat Kasepuhan cemas. Soalnya, selain menebang pepohonan dan menggali lubang sampai 150 meter di dalam tanah, para penambang liar ini membuang zat berbahaya, seperti merkuri dan sianida, ke sungai.
Dengan bantuan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, Kasepuhan Cisitu mengembangkan konsep Community Green Gold Mining atau pengelolaan tambang emas ramah lingkungan dan berbasis komunitas. Dengan model ini, tambang dikelola bersama oleh koperasi yang dibentuk masyarakat adat. Penggunaan zat berbahaya dibatasi, bahkan dilarang sama sekali.

“Cisitu akan menjadi proyek pertama,” kata Gatot Sugiharto, pengurus Aliansi Masyarakat

Adat yang bertanggung jawab pada pengembangan tambang rakyat di Lebak, Banten. “Selanjutnya akan berkembang ke masyarakat adat di daerah lain, yang ingin mengelola tambang emasnya sendiri,” katanya.

Upaya ini semula tak berjalan mulus. Bolak-balik mereka ditolak pemerintah. “Tapi kami tidak menyerah,” kata Yoyo. Pada Juli 2010, Kasepuhan berhasil mendapat pengakuan formal dari Pemerintah Kabupaten Lebak. Bupati Mulyadi Jayabaya meneken surat keputusan tentang pengakuan keberadaan masyarakat adat Cisitu. Surat itu sekaligus mengakui wilayah adat (wewengkon) milik Kasepuhan.

Tiga bulan kemudian, Kasepuhan menandatangani kontrak kerja sama dengan pengelola Taman Nasional Gunung Halimun-Salak untuk menjaga hutan di sana. Pada bagian akhir kontrak, Taman Nasional melampirkan peta hutan Gunung Halimun dan menandai batas-batas wilayah adat Kasepuhan.

Selain lahan seluas 24 hektare (untuk permukiman) dan 27 hektare (untuk sarana penunjang ekonomi masyarakat), Taman Nasional juga mengakui area seluas 1.300 hektare lebih yang kebanyakan sudah berupa sawah, kebun, dan semak belukar sepanjang sungai sebagai zona khusus untuk dikelola masyarakat adat. Luas total wilayah adat Kasepuhan Cisitu adalah 7.266 hektare. Ini hanya seujung kuku dibandingkan dengan total area Taman Nasional Gunung Halimun-Salak yang mencapai lebih dari 113 ribu hektare.

Yoyo mengaku kesepakatan itulah yang menghidupkan kembali rencana pengelolaan tambang emas berbasis komunitas di Cikidang. Pada awal April lalu, Kasepuhan diundang Direktur Kawasan Konservasi dan Bina Hutan Lindung dan Direktur Pengukuhan dan Penatagunaan Kawasan Hutan keduanya pejabat tinggi Kementerian Kehutanan untuk membahas rencana itu. “Kelihatannya pemerintah bakal segera menerbitkan izin pertambangan rakyat untuk Kasepuhan Cisitu,” kata Yoyo berharap.

Kalau jadi dikelola sendiri oleh masyarakat adat, potensi penerimaannya tidak main-main. Selama ini, menurut Yoyo, setoran untuk para beking penambang liar di Cikidang saja bisa mencapai Rp 1 miliar per bulan. “Setoran inilah yang akan kami alihkan ke kas koperasi milik masyarakat adat,” kata Yoyo.

Kelak, sebagian dana itu akan dipakai untuk memperbaiki fasilitas kesehatan dan pendidikan di kampung mereka. “Saya ingin anak-anak Cisitu sekolah sampai tinggi,” kata Yoyo berangan-angan. Dia sendiri hanya lulus sekolah dasar.

Wahyu Dhyatmika (Tobelo), Wasi’ul Ulum (Lebak, Banten).

Sumber : Majalah Tempo

Tinggalkan Balasan