“Dengan Bergotong-royong Kita Pelihara dan Kelola Kekayaan Titipan Leluhur Kita untuk Masyarakat Adat yang Mandiri secara Ekonomi”
Saudara-Saudariku Masyarakat Adat Nusantara yang berbahagia
Gotong-royong adalah kata yang semakin langka dan bahkan hampir punah dalam kehidupan keseharian kita sebagai Bangsa yang dibangun dari ratusan suku-bangsa yang berbudaya gotong-royong. Gotong-royong adalah dua kata yang dirangkai menjadi satu makna, yang walaupun di masing-masing bahasa suku-suku di Nusantara memiliki padanan kata dalam bahasa adat kita yang berbeda satu sama lain, yaitu makna kebersamaan mencapai tujuan bersama. Karena itu kata gotong-royong ini juga menghilang bersama menghilangnya kata musyawarah dalam kehidupan kita sehari-hari. Musyawarah adat adalah mekanisme social dan sekaligus menjadi lembaga politik tertinggi yang diwariskan kepada kita oleh para leluhur terdahulu kepada kita semua, khususnya bagi mereka yang menyatakan dirinya sebagai masyarakat adat dalam mengambil keputusan-keputusan penting yang menyangkut kehidupan bersama, yang memutuskan segara sesuatu sebelum gotong-royong dimulai.
Pada hari ini, tanggal 17 Maret 2011, pada saat kita kembali merayakan Hari Kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara dan sekaligus memperingati hari lahirnya AMAN, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, saya terpanggil untuk menyampaikan keprihatinan atas ancaman kepunahan terhadap semangat gotong-royong dan menghilangnya musyawarah dalam kehidupan kita. Semangat Kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara, yang digelorakan 12 tahun lalu, tidak lain dan tidak bukan, agar kita semua, para warga masyarakat adat di seluruh pelosok Nusantara, tetap menjaga, memelihara, mempertahankan, mengembangkan nilai-nilai terbaik, norma-norma luhur, jalan hidup yang memuliakan kemanusian, yang memberi terhormat untuk setiap jiwa manusia dan mahluk ciptaan Tuhan lainnya yang hidup. Norma-norma inilah yang menerus diperbincangkan di musyawarah adat untuk bermufakat mengerjakannya dengan bergotong-royong. Saya mengajak saudara-saudariku semua, pada hari besar kita kali ini, untuk mengingat kembali Bung Karno yang dengan sangat yakin bahwa lima sila di salam Pancasila kalau diperas inti sarinya maka itulah: gotong-royong. Gotong-royong yang landasi oleh musyawarah yang semakin hari ditinggalkan oleh Bangsa Indonesia yang besar dan luas ini, disepelekan oleh mereka yang sedang berkuasa, dilecehkan oleh mereka yang punya uang banyak.
Bapak dan Ibu, para hadirin dan hadirat yang saya muliakan,
Saya terus berjalan, dari satu wilayah adat satu ke wilayah adat yang lain, bertemu, mendengar dan berbicara dengan banyak sekali tetua adat yang memiliki kearifan yang tinggi, kedalaman pengetahuan kehidupan yang mengagumkan, juga terus memotivasi para penggerak muda yang penuh semangat, mendengar suara hati perempuan adat yang terus berjuang untuk turut memimpin dan memandu gerakan ini menuju tujuan sejatinya untuk berdaulat, Mandiri dan bermartabat. Banyak masalah yang dihadapi masyarakat adat, bahkan terlalu banyak untuk bisa saya sebutkan satu persatu pada pidato sambutan yang singkat ini. Saya menahan diri untuk tidak mengganggu Bapak, Ibu dan para hadirin semua dengan tumpukan masalah di hari besar, Hari Kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara, yang kita sedang rayakan dengan kemeriahan dan kebahagiaan ini. Saya hanya ingin mengatakan bahwa kami belum merdeka, bahwa seluruh masyarakat adat Nusantara masih jauh dari merdeka, walau Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia sudah dikumandangkan pada tanggal 17 Agustus 1945, sudah 66 tahun yang lalu.
Rejim Soeharto memang sudah bubar di tahun 1998 yang lalu tetapi penjajahan yang ditanamkan di wilayah-wilayah adat masih terus sampai hari ini. Di wilayah-wilayah adat kami masih berkuasa perusahaan-perusahaan kayu, perkebunan sawit, Pertambangan, bahkan oleh Taman Nasional yang kesemuanya datang hanya dengan ijin dan bahkan hanya penujukan dari Pemerintah. Hampir semua bentuk pengambil-alihan hak-hak adat ini dilakukan tanpa melalui musyawarah adat, bahkan sebagian besar di antaranya tanpa pemberitahuan lebih dulu, tanpa “Free, Prior, and Informed Consent” menurut hokum HAM internasional, tanpa musyawarah-mufakat menurut Pendiri Bangsa, atau tanpa semangat gotong-royong menurut Soekarno, atau tidak beradat kata masyarakat adat. Inilah masalah terbesar kita sekarang ini! Membuat sesame anak bangsa saling tidak percaya, saling curiga, saling mengkambing-hitamkan satu sama lain, saling lempar tanggung-jawab dan bahkan kita menyaksikan para elit negeri ini saling mencerca di depan public, di hadapan rakyat yang hidupnya sedang kesulitan, yang sedang mendampaikan hidup yang aman dan damai.
Saudara-saudariku Masyarakat Adat Nusantara yang saya banggakan,
Jangan ikut-ikutan. Mari kita retas kembali dan kita perbaharui jalan lama yang pernah dirintis oleh para leluhur masyarakat adat untuk negeri yang kaya ini, yaitu jalan musyawarah dan jalan gotong-royong. Kedua jalan ini haruslah menjadi pembeda antara kita, gerakan masyarakat adat nusantara, dengan mereka yang terus bermain-main dengan kekuasaan politik dan kekuasaan uangnya. Sekali lagi jangan ikut-ikutan! Mari kita terus kobarkan semangat kebangkitan ini dengan tetap konsisten menjaga garis-garis perjuangan organisasi yang sudah amanatkan oleh para tetua adat yang bergabung di AMAN. Kita terus belajar untuk makin terorganisir, baik di komunitas adat kita masing-masing, di kabupaten kita, di propinsi, di nasional dan juga di tingkat internasional. Kita sudah memulainya dan tidak boleh lagi ada kata mundur atau kembali ke masa kegelapan seperti di masa lalu. Kita songsong masa depan yang lebih baik dan lebih cerah. Cahaya pengharapan secara perlahan makin terang menyinari Bumi Nusantara.
Di tingkat nasional, janji Presiden SBY saat menyampaikan Pidato Sambutan Perayaan Hari Masyarakat Adat Se-dunia di TMII tahun 2006 lalu mulai menemukan bentuknya dengan masuknya RUU Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat dalam PROLEGNAS 2010-2014. PB AMAN kemudian telah menyambut agenda legislasi dengan serangkaian konsultasi Naskah Akademik dan Darft RUU di 7 region, untuk Sumatera yang sudah kita laksanakan bekerja bersama Universitas Sumatera Utara (USU) tgl. 9-10 Maret 2011 lalu di Medan, akan dilanjutkan di Makasar untuk Sulawesi, di Jember untuk Jawa, di Denpasar untuk Bali-Nusa Tenggara, di Ambon untuk Maluku dan di Jayapura untuk Papua. Naskah Akademik dan draft RUU ini akan kita upayakan untuk bisa kita serahkan secara resmi ke DPR RI dan Pemerintah pada tahun 2011 ini juga. Untuk perkembangan yang baik ini, saya mewakili PB AMAN pada kesempatan ini ingin menyampaikan penghargaan yang sebesar-besarnya banyak pihak yang sudah menyampaikan dukungan, termasuk kementerian Negara yang selama ini telah bekerjasama dengan AMAN dan para politisi dan pengurus partai-partai politik yang demikian antusias menunggu hasil konsultasi yang sedang berlangsung untuk mereka bahas di internail partai masing-masing.
Di daerah-daerah, perkembangan yang menggembirakan juga terus bertambah. SK Bupati untuk pengakuan keberadaan masyarakat adat dan hak-hak adat yang melekat sebagai hak konstitusional di dalamnya terus bertambah, di antaranya di Kab. Bengkayang di Kalimantan Barat dan Kabupaten Lebak di Banten. Bahkan, SK Bupati Lebak ini kemudian telah menjadi dasar bagi Kementerian Kehutanan c/q Dirjen. PHKA/Balai TN GHS untuk pengembangan kesepahaman, saling mengakui dan menghormati sebagai landasan kerjasama dengan Kasepuhan Cisitu di masa depan. Perkembangan baik ini tentu tidak hanya keberhasilan gerakan kita, tetapi juga karena dukungan dari berbagai pihak di Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat. Kita sampaikan penghargaan bagi mereka yang punya keberanian melakukan perubahan, mengambil resiko jabatan untuk melakukan yang benar. Kita perlu lebih banyak lagi para pejabat yang berani seperti mereka yang saya sebutkan tadi.
Bapak, Ibu, para hadirin yang saya muliakan,
Tentulah bahwa kebangkitan gerakan ini paling nyata hadir di kalangan masyarakat adat sendiri. Kebangkitan ini paling nyata kita lihat dengan makin meluasnya upaya pemetaan wilayah adat seluruh pelosok Nusantara. Dalam perayaan HKMAN 2010 lalu di Medan, kita telah meluncurkan Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA). Sejak itu ratusan komunitas adat yang sudah memetakan wilayah adat, usulan pendaftaran dari 52 komunitas adat ddi antaranya sudah terverifikasi dan terdaftar dengan luas keseluruhan 638.000 ha. Dari profil masyarakat adat terdokumentasi cukup lengkap, dilengkapi dengan data wilayah dan sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya, maka sangat jelas bahwa para leluhur masyarakat adat menitipkan kekayaan yang luar biasa. Apakah ini berkah atau kutukan? Ya, ini seharusnya berkah, tetapi di sebagian besar masyarakat adat saat ini, kekayaan ini justru menjadi kutukan, mengundang banyak pihak untuk mengambilnya, mengundang Pemerintah untuk mengeluarkan beragam ijin untuk para pengusaha, para pemilik modal dari kota besar, dari luar negeri. Mereka ini disebut investor! Mereka yang memiliki modal untuk mengambil kekayaan masyarakat adat dari permukaan bumi maupun dari perut bumi.
Mari, lewat perayaan HKMAN 2011 kali ini, kita pertahankan titipan leluhur kita sebagai berkah, kita pertahankan agar berkah ini tidak menjadi kutukan. Mari kita pelihara, kita kelola, kita manfaatkan kekayaan leluhur kita masing-masing, baik yang ada bentuknya maupun yang tidak berbentuk, harta yang kelihatan dan yang tidak kelihatan, untuk kemandirian ekonomi masyarakat adat saat ini di anak-cucu berikutnya di masa depan. Jalannya pun sudah dipilihkan oleh leluhur, yaitu gotong-royong. Mari kembali kita bermusyawarah, membicarakan semua masalah, memutuskan yang terbaik untuk kampung kita, untuk komunitas adat kita, untuk kabupaten kita, untuk provinsi kita, untuk negeri besar Indonesia yang sedang memikul banyak masalah ini, untuk dunia baru yang lebih adil. Mari satukan langkah, bergotong-royong untuk madiri secara ekonomi.
Pada akhir bulan ini, sebagai rangkaian perayaan HKMAN, kita mengundang saudara-saudari kita Masyarakat Adat dari seluruh pelosok Asia-Pacific, kita juga mengundang lembaga-lembaga donor dari seluruh dunia yang selama mendukung gerakan kita selama ini di Nusantara dan di Asia-Pacifik. Kita berkumpul di Bali dan Lombok, berbincang, bermusyawarah, bagaimana menata hubungan baru yang setara, saling menguatkan, lebih terbuka untuk saling memahami kekuatan dan kelemahan masing-masing, saling berbagi “kekayaan”, berbagi dan inspirasi. Melalui pertemuan ini, relasi pemberi (donor), yang kuat, dengan penerima (masyarakat adat ), yang lemah, harus kita kaji ulang untuk menemukan relasi baru yang lebih produktif untuk gerakan masyarakat adat di Asia dan Pacifik. Kita memulainya dari Indonesia.
Bapak, Ibu dan para hadirin,
Mohon doa dan dukungannya bagi seluruh elemen gerakan masyarakat adat Nusantara, bagi para penggerak dan pembela hak adat yang terus berjuang, khususnya bagi pejuang yang saat ini terpaksa hidup terkurung di berbagai